A. Pendahuluan
Krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, sejak Juli 1997, merambat ke berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Melemahnya kegiatan perekonomian, sebagai akibat depresiasi nilai tukar yang sangat tajam dan inflasi yang tinggi, tidak hanya menyebabkan merosotnya tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memaksa sektor ekonomi lainnya menurunkan atau bahkan menghentikan usahanya. Keadaan ini, mengakibatkan bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya memicu berbagai masalah sosial seperti meningkatnya angka kemiskinan dan kriminalitas yang mengancam stabilitas politik.
Krisis yang berkepanjangan sampai akhir tahun 2007 semakin memperparah keadaan. Tingkat kemiskinan di Indonesia, berdasarkan data BPS tahun 2007 telah berkurang menjadi 16,5%,1 turun drastis dibandingkan dengan awal tahun 1998 yang mencapai 24,2%. Data yang dibuat oleh BPS, ternyata tak lebih hanya dalam angka semata, tidak sesuai dengan fakta karena kenyataanya tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi yakni 49,5% dengan merujuk pada standar Bank Dunia. Keadaan ini disebabkan karena sektor ril tidak bergerak, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terus terjadi karena alasan keterpurukan ekonomi; antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja tidak seimbang, Akibatnya, sejumlah persoalan terutama pengangguran dan kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Penyakit kronis ini sebetulnya ada solusinya karena Islam memiliki konsep yang solutif di antaranya dengan menjadikan zakat dan wakaf sebagai bagian dari sumber pendapatan negara. Islam memiliki konsep pemberdayaaan ekonomi umat, yaitu dengan memaksimalkan peran lembaga pemberdayaan ekonomi umat seperti wakaf dan zakat. Sebetulnya kalau wakaf dikelola secara baik, dapat meningkatkan taraf hidup masayarakat. Selama ini, peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat, cenderung terbatas hanya untuk kepentingan kegiatan ibadah, pendidikan, dan pemakaman semata, kurang mengarah pada pengelolaan wakaf produktif. Beban sosial ekonomi yang dihadapi bangsa saat ini, seperti tingginya tingkat kemiskinan dapat dipecahkan secara mendasar dan menyeluruh melalui pengelolaan wakaf dalam ruang lingkup yang lebih luas yakni pengelolaan wakaf uang.
Sebagai salah satu instrumen wakaf produktif, wakaf uang merupakan hal yang baru di Indonesia. Wakaf yang selama ini dipahami oleh umat hanyalah wakaf tanah milik yang diatur Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peluang untuk wakaf uang ada setelah Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang bolehnya wakaf uang tahun 2002. Peluang yang lebih besar muncul akhir-akhir ini dengan disahkannya rancangan Undang-undang Wakaf menjadi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Lahirnya Undang-undang Wakaf itu memberikan harapan kepada semua pihak dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, di samping untuk kepentingan peribadatan dan sarana sosial lainnya.2 Potensi wakaf di Indonesia sangat besar dan dananya dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi produktif di samping kegiatan sosial dalam rangka membantu kaum duafa dan kepentingan umat. Sebagai tindak lanjut dari lahirnya Undang-undang Wakaf, banyak bank syari’ah dan lembaga pengelola wakaf meluncurkan produk dan fasilitas yang menghimpun dana wakaf dari masyarakat. Seperti Baitul Mal Muamalat, meluncurkan Waqaf Tunai Muamalat (Waqtumu), Dompet Dhuafa Republika meluncurkan Tabung Wakaf Indonesia (TWI), dan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) juga meluncurkan wakaf uang. Lembaga-lembaga ini, sejatinya secara hukum masih terdaftar sebagai lembaga amil zakat. Namun di samping mengelola zakat, lembaga-lembaga ini juga melakukan pengelolaan wakaf uang.
Dilihat dari laporan keuangan dan kegiatan yang telah dilakukan oleh TWI, lembaga wakaf ini telah menyalurkan wakaf uang dalam bentuk produktif seperti perdagangan, peternakan, dan sektor ekonomi produktif lain. Di samping itu, lembaga wakaf ini juga menyalurkan wakaf uang dalam bentuk non produktif, seperti Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), dan bantuan sosial lainnya.3 Pengelolaan wakaf uang untuk sektor ekonomi produktif yang dilakukan TWI ini sesuai dengan prinsip manajemen wakaf uang dalam perspektif ekonomi Islam, yaitu diinvestasikan secara mudhârabah atau musyarakah. Tapi, lain halnya dengan penyaluran wakaf dalam bentuk non produktif, Apakah pengelolaan wakaf seperti ini masih berada dalam koridor prinsip manajemen investasi wakaf uang yang digaris dalam manajemen investasi perspektif ekonomi Islam ataukah tidak? Karena yang harus diperhatikan dalam pengelolaan wakaf uang adalah tetapnya “pokok”, sedangkan yang dapat disalurkan adalah “hasil” dari investasinya.
Dipilihnya TWI sebagai objek penelitian ini, disebabkan TWI merupakan lembaga yang khusus melakukan pengelolaan wakaf, mulai dari penghimpunan, penginvestasikan, dan pendistribusian hasil wakaf kepada mauquf ‘alaih tanpa mencampurkan pengeloaan dana wakaf dengan dana zakat. Untuk itu pertanyaan-pertanyaan penelitian berada sekitar bagaimana manajemen investasi wakaf uang pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI). Apakah manajemen investasi yang diterapkan TWI sesuai dengan prinsip manajemen investasi wakaf uang yang diatur dalam ekonomi Islam? Bagaimana efektivitas manajemen investasai wakaf uang pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI)? Untuk menjawab semua persoalan di atas, penulis mengeksplorasikannya dalam makalah dengan judul Pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia: Studi Kasus pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika.
B. Perkembangan Perwakafan di Indonesia
Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia sejalan dengan penyebaran Islam di seluruh wilayah nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga mengajarkan wakaf pada umat. Kebutuhan akan tempat beribadah, seperti masjid, surau, mendorong umat Islam untuk menyerahkan tanahnya sebagai wakaf. Ajaran wakaf di bumi Nusantara terus berkembang terbukti dengan banyaknya masjid-masjid bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf.4 Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam, praktek perwakafan mengalami kemajuan dari waktu ke waktu.
Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di era modern adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat hukum positif. Dalam proses perumusan kebijakan tersebut, ditentukan oleh bagaimana penguasa melihat potensi maupun organsiasi wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya, maupun kepentingan umat Islam pada umumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai wakaf atau filantropi Islam pada umumnya dibuat berdasarkan asumsi-asumsi ideologis menyangkut relasi antara Islam dan negara serta pertanyaan mengenai seberapa jauh Islam boleh berperan di ruang publik.5
Di masa penjajahan, kegiatan perwakafan mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu ditandai dengan banyaknya muncul organisasi keagamaan, sekolah madrasah, pondok pesantren, masjid, yang semuanya dibangun dengan swadaya masyarakat di atas tanah wakaf.6 Politik pemerintah pada masa ini mengenai filantropi Islam tunduk pada rasionalitas politik Islam Hindia Belanda. Di mana Islam sebagai sistem nilai dibatasi sedemikian rupa sehingga ia dipraktekkan dalam kerangka ritual-personal semata. Rasionalitas semacam ini membuat tradisi wakaf sebagai lembaga pelayanan sosial. Namun, karena aktivitas filantropi Islam seringkali bersinggungan dengan hubungan antarmasyarakat maka pemerintah kolonial pada akhirnya memandang perlu untuk mengatur dengan ketentuan-ketentuan hukum, di antaranya Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 12573 Tahun 1931, Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Surat edaran ini mengatur tentang keharusan adanya keizinan bupati dalam berwakaf. Bupati memerintahkan agar wakaf yang diizinkan dimasukkan ke dalam daftar yang dipelihara oleh ketua Pengadilan Agama yang diberitahukan kepada Asisten Wedana yang selanjutnya dilaporkan ke Kantor Landrente.7
Sayangnya, peraturan yang dibuat tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan politik (political will) yang jujur serta pemahaman yang benar tentang hakikat dan tujuan wakaf. Akibatnya, peraturan-peraturan ini mendapat reaksi dari organisasi-oraganisasi Islam karena orang yang akan berwakaf harus mendapat izin pemerintah. Sementara itu umat Islam memandang perwakafan merupakan tindakan hukum privat sehingga tidak perlu ada izin dari pemerintah. Reaksi ini merupakan penolakan terhadap campur tangan pemerintah kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan agama Islam. Ini berarti peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf, selain untuk memenuhi formalisme administratif semata.
Formalisme ini terus berlangsung sampai masa kemerdekaan. Politik filantropi Islam pada masa Orde Lama tidak mengalami perubahan mendasar. Peraturan-peraturan yang mengatur perwakafan zaman kolonial, pada zaman kemerdekaan masih tetap diberlakukan, karena peraturan perwakafan yang baru belum ada.
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia berkaitan dengan perwakafan seperti yang terjadi pada orde lama tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf selain hanya untuk memenuhi formalisme administratif semata. Hal ini dikarenakan pemerintah pada masa orde baru ini lebih berkonsentrasi untuk memperkuat diri di atas kekuatan-kekuatan sipil terutama Islam, sembari menjalankan agenda sekularisasi politiknya secara konsisten, malah Islam hampir termarginalkan. Keadaan ini terus berlangsung sampai paroh kedua dasarwarsa 1980-an ketika secara mengejutkan Islam mulai diterima di ruang publik.8
Ada pun peraturan perwakafan yang lahir pada masa orde baru adalah: Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan adanya peraturan pemerintah ini, perwakafan tanah milik di Indonesia mulai memasuki babak baru. Perwakafan tanah milik di Indonesia mulai tertib dan terjaga. Ini merupakan peraturan pertama yang memuat substansi dan teknis perwakafan. Selama ini di Indonesia, peraturan yang mengatur perwakafan kurang memadai sehingga banyak muncul persoalan perwakafan di tengah masyarakat, seperti banyaknya sengketa tanah wakaf. Tanah wakaf yang statusnya tidak jelas, banyak benda wakaf yang tidak diketahui keadaannya, penyalahgunaan harta wakaf, dan sebagainya. Hal ini karena tidak adanya keharusan untuk mendaftarkan benda-benda wakaf.9 Barulah dengan ditetapkannya peraturan pemerintah ini perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat.
Kemudian Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Instruksi yang dikeluarkan tangggal 5 Februari 1991 ini adalah pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perwakafan khususnya yang termuat dalam buku III. Aturan yang dimuat dalam buku III tentang perwakafan ini belum membawa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf karena secara substansi masih berbentuk elaborasi dari aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Di sisi lain, instruksi presiden yang terdapat dalam buku III ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi sektor wakaf. KHI masih mengadopsi paradigma lama yang literal yang cenderung bersifat fiqh minded. Hal ini terlihat dari materi hukum yang dicakup merupakan bentuk univikasi pendapat-pendapat mazhab dan Hukum Islam di Indonesia yang berkaitan dengan perwakafan.
Sejalan dengan bergulirnya gelombang reformasi dan demokratisasi dipenghujung tahun 1990-an, membawa perubahan dan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan politik di panggung nasional, sampai munculnya undang-undang yang secara khusus mengatur wakaf. Pemerintah RI mengakui aturan hukum perwakafan dalam bentuk undang-undang. Pada masa reformasi, peraturan perwakafan berhasil disahkan adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang–undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang pasti, kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf. Pensahan undang-undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, meningkatkan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan kesejahteraan umum. Di samping itu, dengan disahkannya undang-undang ini, objek wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja, tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak sewa dan sebagainya.10
Campur tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat pencatatan dan mengawasi pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai, atau menjadikan benda wakaf menjadi milik negara. Kehadiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf secara simbolik menandai kemauan politik negara untuk memperhatikan permasalahan sosial umat Islam. Perkembangan peraturan perundang-undangan tentang wakaf hari ini sangat ditentukan oleh dinamika internal umat Islam serta hubungan harmonis antara Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif ini memungkinkan berkembangnya filantropi Islam seperti wakaf. Selain itu, demokrasi menyediakan arena bagi artikulasi politik Islam secara konstitusional. Pada akhirnya, politik filantropi Islam ditentukan oleh proses integrasi/nasionalisasi gagasan sosial-politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional.11
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Dalam undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak, maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner. Jika dapat direalisasikan, akan memunculkan pengaruh yang berlipat ganda terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat undang-undang tersebut.
Dengan memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya undang-undang wakaf, sangat terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum. Selain bermaksud mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari bahwa berkembanganya lembaga wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Karenanya tidak mengherankan, pemerintah diwakili Departemen Agama memainkan peranan yang signifikan dalam menginisiasi dan menfasilitiasi lahirnya seperangkat peraturan filantropi, khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam undang-undang ini pemerintah bukanlah sebagai pelaksana operasional pengelola wakaf tapi pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator, motivator, fasilitator, dan publik servis bagi pengelolaan wakaf.
Berdasarkan uraian di atas, dengan telah diaturnya wakaf dalam bentuk undang-undang di Indonesia, sektor wakaf dapat lebih difungsikan ke arah peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi umat. Dari sini nampak jelas bagaimana kepentingan kesejahteraan sosial sangat kuat mempengaruhi proses regulasi di bidang perwakafan. Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara produktif dan profesional yang dikumadangkan undang-undang wakaf adalah untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun bidang sosial keagamaan lainnya. Seruan ini mendorong munculnya lembaga pengelola wakaf uang yang dilakukan oleh perusahaan investasi, bank syari’ah, dan lembaga investasi syari’ah lainnya, seperti yang dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia Dompet Dhuafa Republika.
C. Manajemen Wakaf Uang Pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI)
Peran dan potensi dana ummat dalam pembangunan sangat potensial. Berdasarkan kondisi ini, maka Dompet Dhuafa tergerak untuk mengambil inisiatif membentuk institusi Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang berfungsi selaku pengelola wakaf (nazhir wakaf) khususnya wakaf uang, sekaligus mengalokasikannya secara tepat dengan profesionalitas dan amanah. Tabung Wakaf Indonesia (TWI) merupakan badan unit atau badan otonom dengan landasan badan hukum Dompet Dhuafa Republika, berdiri pada tanggal 14 Juli 2005. TWI merupakan badan hukum yayasan yang telah kredibel dan memenuhi persyaratan sebagai nazhir wakaf sebagaimana dimaksud Undang-undang Wakaf.12 Yakni sebagai nazhir wakaf berbentuk badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan keagamaan Islam.13 Pendirian lembaga pengelola wakaf ini adalah untuk mewujudkan sebuah lembaga nazhir wakaf dengan model suatu lembaga keuangan yang dapat melakukan kegiatan mobilisasi penghimpunan harta benda dan dana wakaf guna memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Lembaga ini ikut mendorong pembangunan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Kelahiran lembaga ini diharapkan dapat melakukan optimalisasi wakaf sehingga wakaf dapat menjadi penggerak ekonomi ummat. Sasaran lembaga pengelola wakaf adalah seluruh lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan berwakaf dan masyarakat yang menjadi sasaran program pemberdayaan TWI.
Dompet Dhuafa Republika merupakan institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat pada tanggal 8 Oktober 2001. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 439 Tahun 2001, Dompet Dhuafa Republika pun dikukuhkan sebagai Lembaga Amil Zakat.14 Itu berarti payung hukum yang dipakai sampai saat ini untuk legalitas lembaga pengelola wakaf uang masih sebagai amil zakat, belum sebagai nazhir.
Kegiatan utama TWI, yang mempunyai visi “Membangkitkan peran wakaf sebagai penegak dan pembangkit ekonomi ummat”, dan misi “Mendorong pertumbuhan ekonomi ummat serta optimalisasi peran wakaf dalam sektor sosial dan ekonomi produktif “adalah melakukan kegiatan menghimpun harta benda wakaf baik berupa benda tidak bergerak, maupun benda bergerak dan melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang telah dihimpunnya untuk kepentingan ummat. 15
Mekanisme yang dilakukan Tabung Wakaf Indonesia (TWI) dalam mengelola dana wakaf uang dapat dilihat dari beberapa aspek yakni penghimpunan dana wakaf, manajemen investasi serta pendistribusiannya kepada mauquf alaih.
- Manajemen Fundraising Dana Wakaf
Pada dasarnya pengelolaan harta wakaf, baik wakaf benda tidak bergerak, maupun wakaf benda bergerak telah dilakukan oleh Dompet Dhuafa Republika sejak tahun 2001. Hal ini terlihat dari berhasilnya Dompet Dhuafa Republika menghimpun dana wakaf uang sebesar Rp86.968.000,00 Penghimpunan dana wakaf uang ini meningkat tahun 2002, sebesar Rp822.451.600,00 Peningkatan ini nampaknya dipengaruhi oleh keluarnya fatwa MUI tentang wakaf uang 11 Mei 2002. Peningkatan jumlah dana yang berhasil dihimpun ini terus terjadi tahun 2004 di saat pembahasan dan pensahan undang-undang wakaf. Ini terlihat dari laporan keuangan Dompet Dhuafa tahun 1425 H yang menunjukkan terjadinya peningkatan yang signifikan yakni Rp7.443.389.785,00 Hal ini berarti sejak ditetapkan sebagai lembaga yang khusus mengelola wakaf uang, TWI mencoba melakukan tanggung jawabnya secara profesional. Sejak peresmian TWI menjadi lembaga pengelola wakaf yang diberi kewenangan untuk mengakses potensi wakaf uang secara mendiri. Dana wakaf yang berhasil dihimpun mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Untuk lebih jelasnya bagaimana perkembangan dana wakaf yang berhasil dihimpun TWI dapat digambarkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Penerimaan Wakaf Uang
Tahun |
Jumlah |
Keterangan |
2001 |
86,968,000 |
|
2002 |
822,541,600 |
1 Jan 2002-4 Nov 2002 |
1423/1424 H |
391,914,297 |
5 Nov 2002-25 Okt 2003 |
2004/1425 H |
7,443,389,785 |
|
2005/1426 H |
1,099,145,598 |
|
2006/1427 H |
1,399,798,925 |
|
2008/1428 H |
1,943,819,391 |
|
2009/1429 H |
2,070,990,299 |
|
1430 H |
3,637,700,176 |
Sya’ban 1430/21 Agustus 2009 |
Total |
18,896,268,071 |
|
Sumber: Laporan Keuangan Dompet Dhuafa, 2001-2009
Dari laporan keuangan ini, terlihat perbedaan yang signifikan pada jumlah dana wakaf yang berhasil dihimpun sebelum pengelolaan dana wakaf diserahkan secara penuh ke TWI. Dengan pelimpahan wewenang kepada TWI untuk mengelola wakaf secara semi independen dana wakaf yang berhasil dihimpun mengalami peningkatan.
2. Investasi Wakaf Uang
Wakaf uang yang dikelola oleh lembaga ini dilakukan dengan jalan menginvestasikannya, baik dengan prinsip bagi hasil (mudhârabah dan musyârakah), sewa (ijârah), maupun murâbahah. Mengacu pada manajemen keuangan, nampaknya dalam manajemen investasi wakaf, memobilisasi dana (funding) lebih mudah dari pada menginvestasikan dana (investment). Seperti yang ditegaskan Monzer Kahf, bentuk baru pengembangan wakaf uang adalah melalui perusahaan investasi.16 Merujuk pada manajemen investasi wakaf uang dalam wacana fiqh, wakaf uang dapat dikelola dengan skema investasi mudhârabah, musyârakah, ijârah maupun murâbahah.
Dalam melaksanakan kewajibannya selaku nazhir, TWI melakukan pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf yang dihimpunnya sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Pengelolaan wakaf uang yang dicanangkan TWI dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produktif, nonproduktif dan terpadu (gabungan pendekatan produktif dan non produktif pada satu objek wakaf).
a) Pendekatan Produktif
Dalam pendekatan ini, TWI mengelola harta wakaf untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan menghasilkan keuntungan. Lalu keuntungan ini akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat banyak dengan tetap mempertahankan nilai pokok dari harta wakaf.17 Dalam hal ini, TWI mengalokasikan dana wakafnya untuk usaha peternakan, perkebunan, penyediaan sarana niaga dan bentuk usaha produktif lainnya. Dari hasil usaha tersebut, keuntungannya digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin.
Penempatan wakaf uang ke sektor produktif dilakukan agar prinsip “tahan pokok dan nikmati hasil” seperti yang digariskan dalam hadis Nabi, bisa terwujud. Dana wakaf dari wakif adalah “pokok”, sedangkan surplus dari pengelolaan dana wakaf adalah “buah”. Hasil inilah yang dialokasikan untuk program-program seperti pembangunan masjid dan sekolah. Untuk itu, dalam perwakafan yang harus diperhatikan adalah tetapnya nilai harta yang diwakafkan. Dalam waktu yang bersamaan wakaf tersebut juga dapat menghasilkan sesuatu yang dapat disalurkan kepada mauquf alaih.18
Menurut mantan Direktur Eksekutif Public Interest Research and Advokasy Center (PIRAC) ini, sejatinya ada tiga sumber surplus wakaf yang bisa dikembangkan, pertama, wakaf property, jenis wakaf ini dapat langsung disewakan, sehingga surplus yang didapat langsung berupa uang sewa. Kedua, produksi, wakaf produksi terbagi dua, yakni nonmanufaktur berupa lahan pertanian dan perkebunan dan manufaktur (industry). Ketiga, perdagangan, dari wakaf uang yang terkumpul dimanfaatkan untuk perdagangan dengan sistem mudhârabah.19
Dalam melakukan pengelolaan wakaf uang untuk sektor produktif, TWI lebih cenderung melakukan investasi secara langsung (direct investment) ke objek wakaf Di samping ke sektor ril dengan menggunaka akad mudhârabah, muzara’ah, dan ijârah. Di antara bentuk pengelolaan wakaf produktif yang dilakukan TWI adalah dengan menyalurkan dana wakaf ke berbagai sektor yakni wakaf peternakan, pertanian, perkebunan, perdagangan, wakala (penjualan dinar dan dirham), dan sarana niaga.
Program yang dicanangkan TWI dengan mengelola dana wakaf dalam bentuk ini adalan dalam upaya agar harta wakaf lebih berkembang manfaat ekonomi dan sosialnya. Manfaat ekonomi yang dicanangkan terlihat dari banyaknya kelompok usaha kecil dan menegangah (UKM) yang berhasil diberdayakan dari kucuran dana wakaf. Seperti kelompok masyarakat yang terhimpun dalam Kampung Ternak yang ada di Bogor, kelompok tani yang ada di Lahat Sumatera Selatan dan Banggai Sulawesi Tengah, dan para pedagang yang kaki lima yang berada di Jabodetabek.
Dari program-program wakaf produktif yang telah dilaksanakan TWI, tampaknya sektor ril menjadi perhatian lembaga ini. Padahal sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah apalagi perbankan yang memandang sektor ini kurang menguntungkan. Dengan memberdayakan sektor ini berarti wakaf uang terbukti dapat memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana abadi yang digarap dengan profesional dan amanah, oleh fund manager-nya. Hal ini sangat tepat dilakukan untuk merangsang kembalinya iklim investasi kondusif yang dilatarbelakangi motivasi emosional teologis berupa niat amal jariyah, di samping pertimbangan hikmah rasional ekonomis melalui kesejahteraan sosial. Karena wakaf uang sangat potensial untuk memberdayakan sektor ril, dapat memperkuat fundamental perekonomian.
Terlaksananya ide atau gagasan yang cukup fenomenal ini terbukti dapat mendatangkan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk berlomba demi pencapaian dan peningkatan taraf hidup yang lebih layak yang mampu menghidupi dirinya tanpa harus bergantung kepada yang lain. Di samping itu, juga dapat membuka peluang baru bagi semua masyarakat untuk turut berpartisipasi mewakafkan hartanya (menjadi wakif).
Nampaknya bentuk investasi wakaf uang seperti yang dilakukan TWI ini tidak berbeda dengan apa yang ditegaskan Muhammad ibn Abdullah al-Ansyari.20 Inovator bolehnya wakaf uang ini berpendapat wakaf uang dapat dilakukan dengan cara menginginvestasikannya dalam bentuk mudhârabah dan keuntungannya disedekahkan pada mauquf alaih.
b) Pendekatan Nonproduktif,
Berdasarkan pendekatan ini, TWI mengelola harta wakaf untuk hak-hal yang sifatnya tidak menghasilkan keuntungan (nonproduktif). Manfaat yang ditimbulkan dari harta benda wakaf yang bersangkutan adalah karena nilai manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai pemetik manfaat wakaf, misalnya TWI mengalokasikan dana wakafnya untuk investasi pendirian sebuah rumah sakit gratis seperti LKC. Ini berarti tidak ada pemasukan sama sekali. Dengan demikian, biaya operasional rumah sakit cuma-cuma tersebut harus dicarikan dari sumber lainnya.21 Di samping itu, TWI juga mendirikan sekolah gratis untuk kaum dhuafa seperti Smart Ekselensia, sedangkan seluruh biaya operasional dicarikan dari dana lain seperti zakat, infak, dan sedekah. Wakaf uang yang dialokasikan untuk program sosial, sejatinya kurang tepat, karena asas-asas wakaf yaitu keswadayaan, keberhasilan dan kemandirian, kurang terpenuhi di sini.
c) Terpadu
Yaitu program penyaluran wakaf untuk sarana dan prasarana institusi pelayanan umat dikombinasikan dengan program wakaf dalam bentuk sarana niaga, properti, perkebunan, perdagangan, pertanian, dan lain-lain. Surplusnya disalurkan untuk kaum dhuafa dan atau untuk operasional institusi pelayanan umat dalam satu area program.22 Seperti Rumah Cahaya, sarana perpustakaan dan pelatihan penulisan bagi masyarakat umum yang dikombinasikan dengan aset properti yang disewakan. Kemudian surplusnya digunakan untuk mendukung program perpustakaan dan pelatihan penulisan. Wakaf perkebunan cokelat dan kelapa di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah pun merupakan bentuk program wakaf terpadu TWI. Hasil dari perkebunan cokelat dan kelapa ini digunakan untuk mendanai SMU Mansamat yang berada di daerah itu.
Penghimpunan dana wakaf yang dilakukan TWI cukup efektif karena selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun dilihat dari pengembalian atas investasi wakaf uang yakni penerimaan dana wakaf dikurangi dengan dana wakaf yang disalurkan maka pengelolaan wakaf uang di TWI bermasalah. Kesimpulan ini dibuktikan dengan terjadinya defisit yang cukup tinggi yang dialami oleh TWI yakni sebesar 1 milyar lebih. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 2
Pengelolaan Dana Wakaf Uang
Tahun |
Penerimaan Dana Wakaf |
Penyaluran Dana Wakaf |
Surplus/(Defisit) |
2002 |
822.451.600 |
0 |
822.451.600 |
2004/1425 H |
7.443.389.795 |
11.012.014.900 |
(3.568.625.105) |
2005/1426 H |
1.099.145.598 |
1.376.712.000 |
(277.566.402) |
2006/1427 H |
1.399.798.925 |
1.207.904.000 |
191.894.925 |
2008/1428 H |
1.943.819.391 |
1.353.367.200 |
590.452.191 |
2009/1429 H |
2.070.990.299 |
1.203.363.726 |
867.626.573 |
Total |
14.779.595.608 |
16.153.361.826 |
-1.373.766.218 |
Sumber: Laporan Keuangan Dompet Dhuafa, 2001-2008
Menurut Rini Suprihartanti, defisit anggaran ini berawal dari proses pembelian gedung LKC tahun 2001 yang dibiayai dan dari dana wakaf uang. Tetapi, karena dana wakaf yang terkumpul ketika itu kurang, maka pembelian gedung LKC ditalangi juga dengan dana zakat atas nama hutang bagi TWI. Begitu juga untuk pembelian gedung sekolah Smart Ekselensia tahun 2003 yang dibiayai dengan dana wakaf, namun juga mengalami kekurangan dana sehingga pelunasan gedung pun dibantu dengan dana zakat atas nama hutang bagi TWI. Untuk gedung LKC, sudah dapat dilunasi, tetapi sekolah Smart Ekselensia masih belum dapat dilunasi oleh TWI.23
Bila memahami prinsip sedekah jariyah dalam wakaf, nazhir tidak saja harus meningkatkan kemampuan dan kualitas kerjanya, tetapi juga cara pandang (paradigm) terhadap wakaf yang dikelolanya. Keutuhan aset wakaf tidak musti dipahami secara harfiah dalam bentuk tidak boleh mengubahnya sedikitpun, tetapi dalam konteks yang diajarkan Rasulullah saw. yakni “menahan pokok dan mengalirkan hasil”.
Dari pemahaman seperti ini para nazhir bertugas mengembangkan dan menjaga keutuhan harta wakaf. Dengan ungkapan lain, aset wakaf haruslah berputar, produktif, hingga menghasilkan surplus dan terus dialirkan surplusnya tanpa mengurangi aset. Atau ketika barang itu mengalami penyusutan secara alami akibat pemakaian, dapat diperbaharui kembali dari hasil surplus tersebut. Dalam wakaf uang yang harus diperhatikan adalah tetapnya nilai harta yang diwakafkan sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang dapat diberikan kepada mauquf ‘alaih. Ini berarti dana wakaf uang tidak boleh berkurang apalagi terjadi defisit. Dilihat dari kenyataan ini, manajemen investasi wakaf uang yang dilakukan TWI belum sesuai dengan prinsip manajemen investasi wakaf uang yang digariskan dalam ekonomi Islam.
3. Pendistribusian Wakaf
Dalam mendistribusikan wakaf uang, TWI, di samping menyalurkan untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, dan sosial. Hal ini dapat dilihat dari program-program wakaf untuk kepentingan umum yakni sarana pendidikan seperti Smart Ekselensia, kesehatan seperti LKC, dan sosial seperti wisma mualaf.
Dari program-program wakaf sosial yang dilaksanakan TWI, sebagai bentuk pendisribusian peruntukan wakaf yang disalurkan oleh wakif maupun pendistribusian dari hasil investasi wakaf. Setidaknya ada tiga sektor utama yang menjadi sasaran utama TWI, yaitu bidang pendidikan, bidang layanan sosial, dan bidang ekonomi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3
Penyaluran Dana Wakaf
Tahun |
Wakaf bidang pendidikan |
Wakaf bidang ekonomi/ investasi |
Wakaf bidang sosial |
2001 |
0 |
0 |
0 |
2002 |
0 |
0 |
0 |
2003/1424 H |
38.310.300 |
0 |
0 |
2004/1425 H |
6.812.014.900 |
500.000.000 |
3.700.000.000 |
2005/1426 H |
1.306.430.000 |
70.282.000 |
0 |
2006/1427 H |
1.207.904.000 |
0 |
0 |
2008/1428 H |
600.000.000 |
190.000.000 |
563.367.200 |
2009/1429 H |
0 |
192.629.726 |
1.010.734.000 |
Total |
9.964.659.200 |
952.911.726 |
5.274.101.200 |
Sumber : Laporan Keuangan Dompet Dhuafa Tahun 2001- 2009
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa hampir 61 % dana wakaf yang disalurkan untuk kepentingan pendidikan. Dana yang terhimpun untuk smart ekselensia dipergunakan untuk pembelian fasilitas pendidikan seperti gedung dan peralatan pendidikan lainnya. Dana wakaf yang disalurkan untuk sektor sosial sekitar 33 % sedangkan wakaf uang untuk sektor ekonomi pada tabel ini hanya disalurkan sebesar 6 %.
Hal ini menunjukkan wakaf uang dapat berperan dalam peningkatan kualitas pendidikan, dan dan pelayanan sosial. Argumentasi yang dibangun atas kesimpulan ini didasarkan pada apa yang ditegaskan MA. Mannan, Cash Waqf Certificate Global Opportunity the Sosial Capital Market in 21-CenturyVoluntary-Sektor Banking,bahwa sertifikat wakaf uang merupakan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial.24 Namun, kenyataan ini jelas berbeda dengan pemikiran Dian Masyita, A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for The Poverty Alleviation in Indonesia, yang menyatakan bahwa dana wakaf uang dapat menjadi dana pengurangan kemiskinan di Indonesia, terutama melalui program microfinance.25 Kenyataanya, dana wakaf yang disalurkan oleh lembaga pengelola wakaf uang ke sektor ril masih sangat terbatas, yakni (6 %). Ini berarti wakaf uang sebagai modal kerja yang menjadi penggerak sektor ril belum tercapai.
Walaupun pendapatan dari sektor ekonomi yang disalurkan TWI kecil, tapi efek yang dapat dirasakan masyarakat cukup besar. Selain mendidik masyarakat untuk berjiwa entrepreneurship, juga akan menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya dapat mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Karena efek pengelolaan wakaf uang terhadap pengentasan kemiskinan cukup tinggi, maka penyaluran dana wakaf uang ke sektor ini harus lebih banyak dari pada ke sektor lainnya.26
Dana wakaf uang diinvestasikan dan disalurkan untuk memberdayakan masyarakat kecil melalui mikro finance dan pendampingan usaha.27 Bantuan keuangan mikro ini didampingi oleh sarjana pendamping yang akan memberikan konsultasi kepada penerima kredit mikro agar dapat pengetahuan cara berusaha dan berbisnis dengan baik. Dengan pemberian modal dan bantuan manajemen perlahan-lahan masyarakat miskin dapat terangkat derajatnya melalui usaha mikro yang pada akhirnya mampu hidup layak dan sejahtera. Perencanaan dan pengembangan program kredit mikro yang tepat akan memperkuat nilai-nilai kekeluargaan.
Sektor micro finance seharusnya mendapat prioritas terbesar dalam penyaluran dana, karena di dalam model ini terdapat keberpihakan besar kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). UMKM mampu menyerap tenaga kerja produktif sehingga angka pengangguran dapat ditekan. Begitu juga menciptakan UMKM yang mandiri akan besar dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan. Selain itu UMKM yang telah diberikan bimbingan selama ini memperlihatkan kemampuan tinggi dalam pengembalian modal.
D. Penutup
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan utama, wakaf dapat berperan dalam menunjang proses pembangunan secara menyeluruh, baik dalam pembangunan sumber daya manusia, maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial.
Pengelolaan wakaf uang yang dilakukan TWI melalui pendekatan produktif, pada dasarnya sesuai dengan manajemen investasi wakaf uang yang digariskan manajemen investasi wakaf uang perspektif ekonomi Islam, namun pengelolaan dalam bentuk ini belum menerapkan aturan pengelolaan wakaf uang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan misalnya masalah penerapan auransi syari’ah. Namun pengelolaan wakaf uang melalui pendekatan nonproduktif yang dilakukan pada lembaga tersebut kurang tepat, karena prinsip pengelolaan wakaf uang yang digaris dalam ekonomi Islam tidak terpenuhi yakni menghasilkan surplus (return on investmen) dalam pengelolaannya.
Optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf uang, pengembangan wakaf uang menjadi wakaf properti dan penerapan good corporate governance adalah strategi penting yang perlu diperhatikan untuk pengembangan wakaf uang ke depan. Di sinilah akan dapat dibuktikan bahwa wakaf uang adalah salah satu elemen penting dalam keuangan ekonomi syari’ah. Untuk menjaga tingkat profesionalisme nazhir, sudah saatnya nazhir mempunyai sertifikasi dari lembaga sertifikasi wakaf. Untuk itu diharapkan BWI sebagai regulator pengelolaan wakaf di Indonesia membuat lembaga ini. Kepada pemerintah untuk bersikap proaktif dalam melakukan pembinaan dan pengawasan pada lembaga pengelolan wakaf tunai. Khususnya kepada BWI untuk dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah dalam pembentukan BWI daerah, sehingga Gerakan Nasional Wakaf Uang benar-benar terwujud.
Daftar Pustaka
Abdul Mannan, Muhammad, The Institution of Waqf: Its Religius and Socio-Economic Roles and Implications dalam Management and Developmen of Awqaf Properties, Proceeding of the Seminar, Jeddah: Islamic Research and Training Institute, Islamic Developmen Bank, 1987
-------, Cash Waqf Certificate Global Opportunity the Sosial Capital Market in 21st-Century Voluntary-Sektor Banking, Proceeding of the Third Harvard University Forum on Islamic Finance, Cambridge, Massachussets, Harvard University, 30 September-2 Oktober 1999
-------, Mobilization Effors Cash waqf Fund at Local, National and International Levels for Development of Social Infrastructure of the Islamic Ummah and establishment of World Social Bank, makalah disampaikan dalam International Seminar on Awqaf 2008; Awqaf: The Sosial and Economic Emowermant of the Ummah, Malaysia, 11-12 Agustus 2008
Ahmed, Habib, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation, Jedah: Islamic Research and Training Institution, Islamic Development Bank, 2004
Al-Alabij, Adiyani, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1989
Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988
Apiko JM, Di Balik Pendirian Tabung Wakaf Indonesia, http://www.tabungwakaf.com, 6 Juni 2007, 13.17 WIB
Apiko JM, Program Wakaf TWI, Tawadu Media Tabung Wakaf Indonesia, edisi 04, Tahun II 1430 H
Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik Nomor 38/07/Th. X, http://www.bps.com, 2 Juli 2007, 16.23 WIB
Al-Hadâd, Ahmad ibn Abdul Azîz, Waqf al-Nuqûd wa Istitsmâruhâ, www.maktabahwakfeya.net. 15 November 2008, 14.07 WIB
Hasanah, Uswatun, Pengelolaan Wakaf dan Permasalahannya di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Wakaf Tunai – Inovasi Finansial Islam Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Jakarta, 10 November 2001
-------, Strategi Pengelolaan Wakaf Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Umat, dalam Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan, Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004
-------, Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, Volume 1, Nomor 01, Desember 2008
-------, Permasalahan Penerapan Wakaf Tunai, Modal No. 21/II-Juni 2004
-------, Investasi Wakaf, Modal No. 21/II-Juli 2004
-------, Wakaf Uang dalam Bentuk Investasi, Modal No.26-Maret 2005
Hasan, Tholchah, Saatnya Untuk Berwakaf Produktif, Republika, 17 Oktober 2008
-------, Perkembangan Kebijakan Wakaf di Indonesia, Republika, 14 Maret 2008
Ibn Abidin, Rad al-Mukhtâr ala al-Dâr al-Mukhtâr Syarah Tanwir al-Abshâr, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1994
Kahf, Monzer, Financing the Development of Awqaf Property, makalah disampaikan pada Seminar Development of Awqaf, Kuala Lumpur, 2-4 Maret 1998
-------, Al-Waqf al-Islâmī Tathawwaruh, Idâratuh, Tanmiyatuh, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000
Masyita, Dian, “Sertifikat Wakaf Tunai Sebagai Salah Satu Instrumen Alternatif Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”, dalam Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004
-------, Sistem pengentasan Kemiskinan yang berkelanjutan Melalui Wakaf Tunai, Laporan Penelitian Kementrian Riset dan Teknologi RI, Jakarta, 2005
-------, A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for The Poverty Alleviation in Indonesia, makalah disampaikan pada The 23rd International Conference of The System Dynamics Society Massachussets Institute of Technology (MIT), Boston, Juli 17-21, 2005
Najib, Tuti A dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indoensia, Jakarta: Center for the Studi of Religion and Culture, 2006
Praja, Juhaya S., Perwakafan di Indonesia Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, Bandung:Yayasan Piara, 1995
Saintika, Cahya, Tiga Sumber Surplus Wakaf, Republika, 11 April 2008
Usman, Suparman, Hukum Perwakafan di Indoensia, Jakarta: Darul Ulum Press, 1999
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,