Oleh : Dr. Sumadi, M.Ag.
Dosen IAID Ciamis
Yaitu, 245.548 kasus atau perkara yang bersumber dari penanganan oleh 359 Pengadilan Agama (PA) dan 233 kasus yang ditangan oleh lembaga mitra pengada layanan Komnas Perempuan yang tersebar di 34 Propinsi di Indonesia.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan menujukkan kekerasan pada perempuan terjadi dalam berbagai ranah. Kasus yang paling tinggi terjadi pada ranah personal. Data PA menunjukkan 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berakhir pada perceraian. Data yang masuk pada lembaga layanan mitra Komnas Perempuan 13.602 kasus. Kekerasan di rumah tangga yang berhubungan dengan relasi personal, kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi pemuncak kekerasan yaitu 5.784 kasus (56%), kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus (21%) , kekerasan terhadap anak 1.799 kasus (17%), dan sisanya adalah kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami, matan pacar, dan kekerasan pada pekerja rumah tangga.
Jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan di antaranya kekerasan yang bersifat fisik menempati angka tertinggi, yaitu 42% (4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus), dan kekerasan ekonomi skitar 10% (978 kasus). Sementara untuk kekerasan seksual pada ranah rumah tangga atau personal, kasus pemerkosaan pada perempuan menjadi kasus yang paling tinggi yaitu 1.389 kasus, dan pencabulan sebanyak 1.266 kasus. Pada tahun 2017 juga menampilkan data bahwa pelaku kekerasan seksual pada ranah personal adalah pacar dari korban yaitu sebanyak 2.017.
Ganjalan diskursif
Seringkali para perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga justru dianggap sebagai biang masalah. Misalnya seorang perempuan yang berulang kali mengalami kekerasan dalam rumah tangga secara fisik dan psikologis dengan ditinggal oleh sang suami dengan nikah siri dengan perempuan lain. Para warga di sekitarnya menganggap bahwa pantas suaminya nikah siri dengan perempuan lain, sebab perempuan tersebut dianggap tidak mampu melayani suaminya dengan baik. Tidak bisa memberikan servis yang dapat memuaskan suaminya. Pada kasus-kasus lain tentang kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan seperti pemerkosaan, diskursus dominan masih menempatkan tubuh perempuan sebagai penyebabnya. Perempuan diperkosa dianggap salahnya peremuan yang mancing-mancing hawa nafsu laki-laki dengan pakaian yang seksi, dandanan yang menor, dan ungkapan-ungkapan yang seksis.
Artinya dalam diskursus sosial narasi dominan atas perempuan masih ditempatkan sebagai episentrum anarki sosial. Perempuan masih dikaitkan dengan sejumlah masalah sosial. Ungkapan yang sangat terkenal yang sering dikutif oleh banyak orang “harta, tahta, dan wanita”. Bencana sosial dianggap penyebabnya adalah karena harta. Banyak sekali kasus dan bencana karena rakus dan tamak pada harta. Demikian juga pertumpahan darah, kesengsaraan, dan bencana karena berebut tahta. Dan yang ketiga adalah wanita. Artinya perempuan dianggap sejajar dengan penyebab bencana sosial yang lain, bukan laki-laki. Oleh karena itu sering kali tokoh-tokoh yang memiliki kuasa ekonomi, kuasa politik, atau jabatan yang lain tiba-tiba karirnya hancur karena selingkuh dianggap penyebabnya adalah perempuan. Padahal terjadinya perselingkungan karena para laki-laki yang memiliki kuasa politik, ekonomi, dan kuasa yang lainnya yang menjadikan mereka melakukan dominasi atas perempuan. Implikasikasinya dominasi atas yang lemah akan menyebabkan berbagai tindakan opresi atas perempuan.
Diskursus agama yang mengatur relasi laki-laki dan perempuan juga kecenderungannya masih memberikan peluang terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga.Konsep kesetaraan di dalam rumah tangga belum sepenuhnya mendapat pemahaman yang sama di antara para keluarga umat beragama. Konsep ketaatan total seorang istri pada suami berdampak terjadi kekerasan yang turun menurun. Karena konsep ketaatan dianggap menafikan kebersamaan dan musyawarah sehinga memberikan peluang legitimasi atas nama tuhan untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Beberapa kasus perempuan yang mendapat kekerasan psikologis dan ekonomi dengan tindakan kawin siri yang dilakukan oleh suaminya dianggap sebagai kewajaran yang dlindungi tuhan dengan dalih secara norma laki-laki kuasa untuk kawin lagi tanpa harus ijin terhadap istrinya.
Oleh karena itu penelitian tentang KDRT terhadap 62 artikel yang dimuat dalam berbagai jurnal dari 33 peneliti menunjukkan hipotesis bahwa adanya korelasi antara bias gender dengan kekerasan dalam rumah tangga (Asmarany, Jurnal Psikologi Vol 35, No. 1, 1-20). Artinya pandangan dan diskursus yang bias gender menjadi akar kekerasan terhadap perempuan di lingkungan rumah tangga. Pandangan yang stereotip dan bias gender dalam berbagai budaya, norma agama, dan tatanan sosial yang mengatur relasi laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang yang merugikan perempuan menjadi lahan tumbuh suburnya kekerasan pada perempuan.
Kehadiran Negara
Negara telah melakukan banyak hal terkait dengan pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan melalui berbagai regulasi dan perundang-undangan. Tetapi dalam pelaksanaanya masih banyak yang harus diperbaiki. Evaluasi Catatatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2017 menujukkan bahwa akses korban pada layanan pemerintah masih kurang digunakan oleh korban. Para korban lebih memilih layanan yang dilakukan oleh Ngo/LSM. Karena layanan yang dilakukannya mengedepankan keramahan. Cara kerjanya juga lebih jemput bola pada korban ketimbang menunggu. Ramah dan peduli terhadap korban menjadikan layanan LSM lebih disukai oleh masyarakat. Oleh karena itu lembaga layanan yang merupakan representasi pemerintah harus bersinergi dengan Ngo atau mitra layanan yang berbasis masyarakat.
Negara juga harus hadir pada afirmasi kecenderungan peningatan munculnya kriminalisasi pada perempuan korban KDRT. Telah banyak terjadi kick balik yaitu suami atau mantan suami melaporkan balik para perempuan dengan berbagai tuduhan. Misalnya pencurian ATM yang padahal untuk biaya anak-anaknya sehari-hari, pemalsuan dokumen, dan lain-lain. Di aspek pendidikan dan agama perlu upaya secara sistematis dan berkelanjutan dengan pengembangan tema-tema yang ramah perempuan. Ideologi yang telah mengakar dalam waktu yang panjang yang menempatkan perempuan secara diskriminatif harus mendapat interpretasi dari para ilmuwan dan agamawan. Sebab pemahaman yang bias gender bukan saja terjadi pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi di lingkungan akademik.
Ada perkembangan yang dapat membangun optimisme membangun suasana negeri yang memiliki atmosfir ramah perempuan yaitu makin tingginya kesadaran partisipasi masyarakat dalam mencegah dan terlibat dalam penindakan serta perlindungan kekerasan pada perempuan. Arus positif ini harus jalin berkelindan dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga terjadi kerja bareng mewujudkan Indonesia yang menjadi bumi yang memulyakan perempuan. Semoga!