Oleh: Dr. H. Fadlil Munawwar Manshur, M.S.
I. Pendahuluan
Diakui atau tidak, pendidikan Islam di Indonesia memiliki peran yang amat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama[1] di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596[2]. Kegiatan pendidikan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama pondok pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik siswa untuk belajar.[3] Kalau di pulau Jawa dikenal lembaga pondok pesantren, maka di pulau lain dikenal lembaga-lembaga dengan sebutan yang berbeda, namun dengan fungsi dan peran yang hampir sama dengan pondok pesantren. Di Minangkabau, misalnya, dikenal lembaga surau; atau meunasah di Aceh; serta langgar di Banjarmasin.[4] Namun pada masa-masa selanjutnya, pondok pesantren menjadi istilah populer yang banyak digunakan untuk penyebutan lembaga-lembaga tersebut.
Dengan menggunakan catatan Federspiel tersebut, berarti perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung kurang lebih 9 abad. Itulah sebabnya, pendidikan Islam, terutama pondok pesantren, diyakini sebagai pendidikan tertua di Indonesia.
Perkembangan pendidikan agama di Indonesia dengan pondok pesantren sebagai cikal bakalnya, selanjutnya mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Pondok pesantren yang pada awalnya sangat sederhana dan hanya terdiri dari kiai, santri, masjid, dan pondok[5]; lama-kelamaan, sesuai dengan tuntutan zaman, mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan dan dinamika bangsa Indonesia. Kalau semula pondok pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama an sich, maka kemudian memperluas fungsinya sebagai lembaga sosial, yang berperan pula dalam pembinaan masyarakat di sekitarnya, dengan tanpa melupakan tujuan utamanya sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama. Bahkan pada masa pra kemerdekaan dan masa revolusi fisik, pondok pesantren menjadi pusat penempaan dan markas para pejuang.
Menjelang abad-20, perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berarti, seiring dengan terjadinya perubahan sikap keberislaman bangsa Indonesia pada waktu itu. Pada saat itu ada beberapa dorongan yang menyebabkan perubahan pergerakan umat Islam Indonesia. Pertama, semenjak tahun 1900 di beberapa tempat muncul keinginan untuk kembali kepada Alquran dan Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Tema sentral dari kecenderungan ini adalah menolak taqlid buta. Kedua, perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda, yang bersifat nasionalis dan kurang merespon terhadap gagasan Pan-Islamisme yang dihembuskan di Timur Tengah. Ketiga, adanya keinginan dan usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi. Keempat, adanya upaya pembaharuan pendidikan Islam, di mana sebagian organisasi Islam tidak puas dengan sistem pendidikan tradisional.[6]
Akibat dorongan-dorongan itu, keinginan untuk memperbaharui dan mengembangkan pendidikan Islam tumbuh subur di berbagai tempat, terutama di Sumatera dan Jawa. Tahun 1907, di Padang Panjang berdiri madrasah Adabiyah oleh Abdullah Ahmad, sebuah madrasah yang lebih bercorak modern. Di Yogyakarta, pada akhir tahun 1923 telah didirikan empat sekolah dasar Muhammadiyah, dan mulai merintis mendirikan HIS dan sekolah pendidikan guru.[7] Di daerah-daerah lain pun, seperti di Tebuireng (Jawa Timur), Majalengka (Jawa Barat), Medan (Sumatera Utara) dan lain-lain pendidikan agama mulai dikembangkan dengan mengambil corak modern. Secara umum, perkembangan pendidikan agama yang terjadi pada masa itu mengalami prubahan-perubahan dari sistem pengajaran perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal, serta diberikannya materi pengetahuan umum di samping pengetahuan agama. Perubahan pola pendidikan agama inilah yang menjadi cikal bakal madrasah seperti yang dikenal hingga sekarang.
Semenjak upaya modernisasi pendidikan Islam dilakukan, sampai saat ini jumlah lembaga pendidikan agama—terutama dalam bentuk pondok pesantren dan madrasah—telah mencapai ribuan dan tersebar luas di wilayah perkotaan dan perdesaan sampai kampung yang terpencil sekalipun. Selain kedua jenis sistem pendidikan Islam tersebut, dikenal pula struktur internal pendidikan Islam di Indonesia yang lain, yaitu pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan umum; serta pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.[8]
Dengan jumlah yang ribuan dan tersebar luas di berbagai daerah itu, pendidikan Islam diakui memiliki peran yang cukup penting dalam berbagai kancah kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, masa depan pendidikan Islam Indonesia masih dihadapkan pada isu dan tantangan khas yang tidak dihadapi oleh institusi pendidikan lain di Indonesia.
Menurut hemat penulis, masa depan pendidikan Islam Indonesia dihadapkan pada empat isu, yaitu: Pertama, isu tentang peran pendidikan Islam dalam mengembangkan budaya damai. Kedua, isu yang berkenaan dengan daya saing penguasaan ilmu dan teknologi antara out put pendidikan Islam dengan out put pendidikan umum[9]. Ketiga, isu tentang pendidikan Islam dan kesadaran IPTEK. Keempat, isu tentang pendidikan Islam dan pengembangan multikulturalisme.
II. Isu-isu Pendidikan Islam Indonesia
1. Isu Pertama: Islam sebagai Agama Perdamaian
Isu yang paling serius dan menantang dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia saat ini adalah bagaimana ia dapat mengartikulasikan nilai-nilai Islam tentang perdamaian dan toleransi dalam struktur kurikulum dan kelembagaan pendidikan. Isu besar ini akan tetap dihadapi oleh pendidikan Islam Indonesia di masa depan, seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat global yang juga menghadapi isu serupa setelah berakhirnya perang dingin serta konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah.
Pada hakikatnya, mayoritas umat Islam Indonesia meyakini bahwa inti ajaran Islam adalah “mengajarkan perdamaian” sesuai dengan makna kata dasar Islam (salima atau salam) yang berarti tunduk, patuh, selamat, sejahtera, dan damai. Akar kata Islam yang berarti damai itu diperkuat ayat Alquran, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS.21:107). Keyakinan mayoritas umat Islam Indonesia itu dibuktikan oleh kesediaannya untuk hidup berdampingan secara damai dengan para penganut agama lain. Keyakinan dan kesediaan mayoritas umat Islam Indonesia untuk hidup secara damai juga merupakan cerminan dari kepercayaannya bahwa inti dari semua agama tidak ada yang mengajarkan apalagi mendorong tindak kekerasan. Semua agama memuat ajaran-ajaran luhur tentang perdamaian, rahmat dan cinta kasih. Pada setiap agama selalu ditemukan esensi dan semangat luhur mengenai kebersamaan, hidup berdampingan secara aman dan damai, serta saling hormat-menghormati dan tolong-menolong.
Tetapi, pada level praxis, perjalanan sejarah umat beragama, termasuk umat beragama di Indonesia, seringkali menunjukkan hal yang sebaliknya. Konflik, pertentangan dan perang antarumat beragama sering terjadi ketika agama-agama mengalami perjumpaan satu sama lain. Sejarah kekerasan dan perang berbasis agama yang terjadi di berbagai belahan bumi dapat dijadikan bukti, bahwa inti dan esensi keberagamaan yang memihak pada perdamaian, rahmat dan cinta kasih tidak selalu membumi pada wilayah historis-empiris. Inti, esensi dan semangat keberagamaan yang sarat dengan perdamaian, cinta kasih, dan rahmat yang sering diklaim secara universal oleh para pendiri dan tokoh agama-agama adalah sesuatu hal, sementara konflik, kekerasan dan peperangan seolah-olah menjadi hal lain.
Konflik antarumat beragama pun tidak hanya terjadi di kalangan awwam, melainkan juga sering terinspirasi oleh gagasan, ajakan, bahkan hasutan para pemimpinnya. Tidak sedikit pemimpin keagamaan yang secara ekslusif mengklaim keyakinan dan agama dirinyalah yang paling benar (truth claim), sementara keyakinan dan agama lain dipandang sebagai keliru, salah, bid’ah dan oleh karenanya menjadi tugas suci dan mulia untuk memeranginya, dan bila perlu dengan mengangkat senjata. Klaim kebenaran (truth claim) terhadap keyakinan dan agamanya sendiri tersebut, tidak akan menjadi problem sosial serius apabila sebatas pada "keyakinan" dan tidak menimbulkan sikap dan perilaku agresif yang dapat melahirkan konflik, pertentangan dan peperangan. Karena memang klaim kebenaran atas kepercayaan dan agamanya sendiri menjadi hak dan kewajiban para penganut suatu agama, dan inilah sesungguhnya yang menjadi salah satu makna dari keberagamaan seseorang. Keragu-raguan terhadap agama dan kepercayaan sendiri pada akhirnya hanya akan mengaburkan, kalau tidak mereduksi makna kehadiran agama bagi umat manusia.
Pendeknya, klaim kebenaran mutlak diperlukan agar kehadiran agama memiliki makna, asal klaim tersebut tidak disertai sikap dan perilaku agresif-destruktif terhadap penganut agama lain. Konsep agree in disagreemnet atau setuju dalam perbedaan, tampaknya dapat dijadikan pilihan untuk mengatasi problem truth claim di atas. Orang percaya bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang benar dan paling baik; dan ia menyadari bahwa di antara agama yang satu dengan agama yang lainnya, kepercayaan yang satu dengan kepercayaan yang lain, selain terdapat perbedaan juga memiliki persamaan.
Dengan keyakinan yang demikian, para penganut agama akan memiliki gairah untuk berusaha supaya tingkah laku kesehariannya sesuai dengan keyakinannya, yang merupakan dorongan dari agama yang dipeluknya. Tetapi, ia juga menyadari bahwa di samping perbedaan-perebedaan yang terdapat dalam setiap agama, terdapat pula persamaan-persamaan di antara satu agama dengan agama yang lain.
Dalam konteks umat Islam di Indonesia, meskipun arus utama dan mayoritas bersikap dan berperilaku moderat, tetapi akhir-akhir ini terdapat kecenderungan menguatnya sikap dan perilaku radikal dan ekstrem pada sebagian kecil umat Islam Indonesia. Lahirnya berbagai komunitas dan kelompok keagamaan yang mengusung tema-tema tentang jihad, khilafah, formalisasi hukum Islam, yang seringkali disertai dengan tindakan-tindakan anarkis dan intoleransi terhadap mereka yang dipandang sempalan; kesemuanya merupakan bukti bahwa gejala radikalisme dan ektremisme telah begitu nyata.
Menghadapi isu dan gejala radikalisasi kehidupan keagamaan itulah, maka sejumlah pakar dan praktisi pendidikan Islam Indonesia kembali menyerukan akan pentingnya upaya melakukan reorientasi kurikulum dan kelembagaan pendidikan Islam Indonesia, dengan harapan lembaga pendidikan Islam mampu berperan dalam menginternalisasi ajaran Islam tentang perdamaian, toleransi, dan cinta kasih.
2. Isu Kedua: Penguasaan Ilmu-ilmu Agama dan Ilmu Umum
Karena pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, maka pengembangan pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem pendidikan nasional sebagai induknya. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[10]
Tanpa mengurangi makna dan idealitas tujuan tersebut, melihat kondisi dan kenyataan yang ada tampaknya akan sulit sekali suatu lembaga pendidikan, termasuk pendidikan Islam, untuk memenuhi tujuan Pendidikan Nasional tersebut. Namun demikian, sesuai dengan misi dan tantangan objektif yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, mau tidak mau pendidikan Islam harus membawa misi ganda, yaitu di satu sisi pendidikan Islam harus mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik, dan di sisi lain ia harus membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dengan misi yang demikian itu, maka corak masa depan pendidikan Islam Indonesia diarahkan pada (1) sistem pendidikan klasik, yang lebih menekankan pada upaya mencerdaskan bangsa secara umum, termasuk di dalamnya pengembangan budi pekerti dan akhlak al-karimah; dan (2) sistem pendidikan yang mengacu pada perencanaan tenaga kerja (man power planning). Dengan kata lain, kalau pendidikan Islam ingin mencetak peserta didik yang memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sekaligus mengembangkan pengetahuan dan pengahayatan mereka terhadap nilai-nilai ajaran Islam, mau tidak mau, pendidikan klasik yang bertumpu pada pendidikan pondok pesantren harus dibarengi dengan sistem madrasah/sekolah.
Melihat pola pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia, orientasi pendidikan yang diarahkan untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan penghayatan nilai-nilai ajaran Islam, tampaknya tidak menjadi problem yang begitu mendesak. Karena peserta didik di lingkungan pendidikan Islam, baik pondok pesantren maupun pendidikan sekolah (dari Madrasah Ibtidaiyah hingga Perguruan Tinggi) sangat kondusif untuk mencapai orientasi tersebut. Justru isu (sekaligus tantangan) yang dihadapi secara serius adalah bagaimana pendidikan Islam mampu mempersiapkan peserta didik untuk bersaing di dunia kerja setelah mereka lulus. Tantangan ini sudah pasti mengharuskan para pelaku pendidikan Islam untuk melakukan reorientasi kembali di bidang kurikulum, terutama mengenai materi-materi dasar ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Faktanya, sebagian besar out put lembaga pendidikan Islam belum bisa mengisi kebutuhan lapangan kerja yang tersedia. Mereka yang telah muqim (keluar) dari pondok pesantren, sesuai dengan tradisinya, biasanya meneruskan perjuangan gurunya dengan mendirikan dan menjadi pengasuh pondok pesantren baru. Atau setidaknya menjadi guru ngaji, imam masjid dan mendapat predikat ustadz, kiai atau ulama dari masyarakat. Kalau pun ada alumni pondok pesantren yang berkecimpung di dunia ekonomi, hal itu terbatas pada sektor perdagangan dan jasa dalam lingkup kecil. Karena kemampuan manajerial dan skill yang terbatas, usaha mereka di sektor ekonomi sulit bersaing dengan para pelaku ekonomi modern.
Sementara itu, alumni pendidikan Islam dari jalur sekolah (formal), mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga Perguruan Tinggi Islam rata-rata baru bisa mengisi lowongan kerja pada birokrasi pemerintahan, khususnya Kementerian Agama. Meskipun tidak diragukan banyaknya alumni pendidikan Islam yang berkecimpung di dunia politik dan ekonomi, tetapi tetap dalam keadaan yang serba terbatas.
3. Isu Ketiga: Pendidikan Islam dan Kesadaran Iptek
Memasuki milenium ke-3, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mulai menjadi isu serius pendidikan Islam di Indonesia. Para pakar dan praktisi pendidikan Islam mulai merasa prihatin oleh mimimnya peran lembaga pendidikan Islam dalam penguasaan iptek. Dalam pandangan mereka penguasaan iptek mutlak diperlukan mengingat perkembangan global masyarakat modern tidak dapat dipisahkan dari iptek. Ada dua problem besar yang dihadapi oleh pendidikan Islam Indonesia berkenaan dengan isu penguasaan iptek.
1) Kebijakan Dikhotomik
Problem pertama berkaitan dengan pandangan keilmuan yang dikotomis antara ilmu “ilmu-ilmu agama” di satu sisi dan “ilmu-ilmu umum” di sisi lain. Pandangan dikhotomik ilmu tersebut kemudian berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam Indonesia, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.
Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan, di kalangan masyarakat Islam Indonesia berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama Islam-lah yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam, terutama anak-anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. Cara pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap cara pandang sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Sebagian umat Islam hanya memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya mencapai cita menjadi Muslim yang sejati demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan "umum" dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif mengantarkan anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati yang diidolakan orang tua.
Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih cenderung memilih lembaga-lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal dipoeroleh setelah lulus. Bagi mereka ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh karena itu mutu dan kesempatan kerja setelah lulus tidak terjamin.
Realitas cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan itu, kemudian berimplikasi kepada respon para pengambil kebijakan pendidikan (baca: Pemerintah) yang menetapkan adanya dua versi lembaga pendidikan, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.[11] Dan dari aspek kelembagaan, pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.[12] Sementara itu, pendidikan sekuler atau pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.[13]
Mencermati pengertian dan tujuan pendidikan agama dan pendidikan umum tersebut, terlihat jelas bahwa secara konstitusional, peraturan yang meregulasi bidang pendidikan di Indonesia bersifat dikhotomik dan diskriminatif. Meskipun UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirumuskan sebagai perwujudan dari semangat reformasi[14] yang berupaya untuk menghilangkah berbagai kebijakan diskriminatif yang terjadi pada masa-masa pemerintahan sebelumnya, namun implementasi peraturan perundangan yang ada masih tetap terkesan dualistik, dikhotomik, dan diskriminatif.
Bukti dari perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan umum di satu sisi dengan pendidikan keagamaan di sisi lain, adalah pada kebijakan dua kementrian/departeman, di mana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengurusi lembaga-lembaga pendidikan umum dengan berbagai fasilitas dan dana yang relatif "melimpah", sementara Kementerian Agama mengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dengan fasilitas dan pendanaan yang "amat terbatas".[15] Keterbatasan dana, fasilitas, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan di banyak Madrasah dan lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pengelolaan Madrasah tidak dapat optimal dan seringkali menyebabkan mutu lulusan Madrasah kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
2) Standar Profesional Guru
Problem kedua pengembangan iptek di lingkungan pendidikan Islam terkait dengan kualifikasi guru dan tenaga pengajar. Problematika kualifikasi guru atau tenaga pengajar memang tidak hanya dihadapi oleh pendidikan Islam, melainkan sudah merupakan problem umum yang dihadapi oleh sistem pendidikan nasional.[16] Namun di lingkungan lembaga pendidikan Islam Indonesia, problem ini dirasakan cukup serius. Di lingkungan lembaga pendidikan Islam, banyak ditemukan adanya ketidaksesuaian (missmatch) antara kemampuan dan latar belakang pendidikan guru dengan materi pelajaran yang dipegangnya.
Seperti diketahui, para guru atau tenaga pengajar di lingkungan pendidikan Islam lebih banyak berasal dari lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN dan PTAIS lainnya) yang kemampuan profesionalnya di bidang iptek kurang begitu memadai. Bahkan tidak jarang, akibat terbatasnya jumlah guru, materi-materi dasar iptek dipegang oleh mereka yang bukan ahlinya. Di Madrasah Aliyah, misalnya, tidak sedikit lulusan Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang memegang mata pelajaran Fisika, Biologi, Kimia dan lain-lain.
4. Isu Keempat: Pendidikan Islam dan Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah isu yang mungkin akan dihadapi sepanjang masa oleh pendidikan Islam di Indonesia. Multikulturalisme yang menekankan keanekaragamaan kebudayaan dalam kesederajatan akan selalu menjadi isu besar sekaligus sensitif bangsa Indonesia, karena sebagaimana bangsa Amerika Serikat, bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri berbagai-bagai suku, bahasa, agama, etnis, dan ras.
Sayangnya, akhir-akhir ini di kalangan sebagian masyarakat Indonesia berkembang suatu pandangan dan sikap yang menafikan dan mengingkari keragaman dan pluralisme, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Beberapa waktu yang lalu, ketika muncul sebuah pesan keagamaan yang dikemas melalui ”fatwa” yang mengharamkan tiga paham kontemporer yakni sekularisme, liberalisme, dan pluralisme dalam bidang keagamaan, kurang lebih juga merupakan bentuk ”tersembunyi” dari upaya mengingkari realitas empirik yang beragam dalam berbagai aspek kebangsaan, terutama berkenaan dengan pengharaman pluralisme oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebuah institusi keagamaan Islam terhormat yang memiliki jaringan di pusat sampai ke desa-desa. Kendati pesan keagamaan itu masih sangat kabur, tetapi penggunaan ”judul” pesan yang begitu vulgar, telah mengakibatkan keresahan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat Indonesia. Pengingkaran terhadap keragaman dan pluralisme juga sering muncul pada ranah politik dan kebijakan publik. Beberapa produk perundang-undangan di bidang pendidikan dan keagamaan juga disinyalir memuat aturan-aturan yang mengabaikan keragaman dan pluralisme. Alhasil, ketika aturan-aturan itu diimplementasikan, yang terjadi adalah berbagai tindak diskriminatif. Ujung-ujungnya, mereka yang berada pada arus dan kelompok minoritas selalu menjadi korban.
Multikulturalisme adalah sebuah faham yang mengakui dan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam perspektif multikulturalisme ini, maka sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik itu tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut. Perspektif multikulturalisme inilah yang ingin diinternalisasi ke dalam struktur kurikulum pendidikan Islam di Indonesia.[17]
Menjadikan multikulturalisme sebagai cara pandang bangsa memang memerlukan proses yang tidak mudah. Proses penyadaran tentang pentingnya multikulturalisme perlu diinternalisasikan melalui berbagai aktivitas. Dalam konteks ini, pendidikan memegang peranan penting dalam mengembangkan multikulturalisme sebagai cara pandang. Namun sebelum itu, pendidikan di Indonesia mesti dibebaskan dulu dari berbagai prasangka (agama, kultural, suku dan ras).
Melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bangsa Indonesia berusaha untuk membersihkan berbagai program dan aktivitas pendidikan dari berbagai instrumen yang anti-pluralisme, anti-keragaman, dan anti-multikulturalisme. Dengan harapan dunia pendidikan tidak akan menjadi pendukung dan penghasil generasi yang penuh prasangka, sarat sikap curiga, dan berwatak diskriminatif. Melalui undang-undang itu, dunia pendidikan di Indonesia ingin mengembangkan sikap peduli dan mau mengerti (difference) atau “politics of recognition”, politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Sistem pendidikan Indonesia berusaha untuk membabaskan dirinya dari berbagai perangkat diskriminatif, yang sebelumnya disinyalir masih mewarnai praktek pendidikan di Indonesia. Dengan kata lain, dunia pendidikan Indonesia berupaya untuk mengembangkan dan menyediakan sumber belajar yang jamak bagi pembelajar (multiple learning environments), sesuai dengan kebutuhan akademik maupun sosial anak didik.
Melalui sumber belajar yang jamak itu, diharapkan dunia pendidikan Indonesia dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti serta sadar dan mengakui adanya keragaman kebudayaan kelompok manusia, toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal serta subyek-subyek lain yang relevan. Dengan menggunakan sumber belajar yang beragam itu, maka pluralisme tidak hanya ditoleransi tetapi juga dirangkul.
Multikulturalisme yang ingin diinternalisasikan melalui pendidikan Islam di Indonesia memiliki tujuan untuk: (1) mengembangkan kompetensi akademik standar dan dasar tentang nilai-nilai persatuan kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat atau saling menghargai dalam keragaman budaya; (2) mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman tentang latar belakang budaya sendiri dan budaya lain dalam masyarakat; (3) mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisis dan membuat keputusan yang cerdas tentang isu-isu dan masalah keseharian melalui sebuah proses demokratis atau inkuiri dialogis; dan (4) membantu mengonseptualisasi dan mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik, demokratis dan memiliki persamaan derajat.
Melalui perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia terkini, memang tujuan-tujuan sebagaimana yang ingin dicapai melalui pendidikan multikultural itu memiliki kemiripan dengan kompetensi pendidikan di Tanah Air, yakni empat kompetensi belajar yang fundamental sifatnya, yang dapat dikatakan sebagai pilar pengetahuan. Keempat pilar belajar itu adalah belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar hidup bersama (learning to life togethers), dan belajar menjadi seseorang (learning to be), yang diadopsi dari empat pilar UNESCO.
IV. Simpulan
Masa depan pendidikan Islam Indonesia, sebagaimana dipaparkan dalam makalah ini, tampaknya mengarah pada: Pertama, pendidikan integralistik yang berpandangan bahwa manusia merupakan pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individu-sosial. Pendidikan integralistik diarahkan untuk dapat menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi, yang mampu mensyukuri segala nikmat dan karunia Tuhan; yang bisa menyatukan potensi dirinya; yang bisa menyatu dengan masyarakat; serta menyatu dengan alam lingkungannya. Dengan pendidikan yang integralistik ini, maka pandangan keilmuan yang dikhotomik serta kebijakan pendidikan yang dualistik setahap demi setahap dihilangkan. Kedua, pendidikan humanistik yang memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki fitrah dan potensi-potensi, yang menyadari bahwa fitrahnya perlu dijaga dan dipelihara, serta menyadari bahwa potensi-potensi yang ada pada dirinya perlu terus dikembangkan, sehingga ia dapat melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Melalui pendidikan humanistik ini, pendidikan Islam di Indonesia diarahkan untuk mengakui dan menghormati pluralisme dan multikulturalisme. Ketiga, pendidikan pragmatik yakni pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Melalui pendidikan yang pragmatis ini, maka kurikulum teknologi, keterampilan, dan life-skill lainnya akan semakin banyak diintroduksi oleh pendidikan Islam Indonesia. Keempat, pendidikan yang berakar budaya kuat, berarti pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah suatu bangsa atau mesyarakat tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Achmad (1997). Sekolah Sebagai Transformator Wawasan Keunggulan Bangsa. Dalam M. Dawam Rahardjo (Editor). Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Sumber Daya Manusia Abad 21. Jakarta: PT Intermasa.
Azra, Azyumardi (2002). Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia: Menimbang Konsep Multikulturalisme. Jakarta: Ciputat Press
Bruinessen, Martin van (1992). Pesantren dan Kitab Kuning: Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi Pesantren. Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III No. 4 Th. 1992.
Bruinessen, Martin van (1994). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.
Buchori, Mochtar (1989). Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan. Dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Penyunting). Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M.
Dhofier, Zamakhsyari (1982). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Djaelani, H.A. Timur (1980). Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. Jakarta: Dermaga.
Federspiel, Howard M (1996). Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihah. Diterjemahkan oleh Drs. Tajul Arifin, MA. Bandung: Mizan.
Hasan, Mohammad (2001). Multikulturalisme dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kuntowijoyo (1991). Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mastuhu (1997). Menuju Paradigma Baru Pendidikan Indonesia. Dalam M. Dawam Rahardjo (Editor). Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Sumber Daya Manusia Abad 21. Jakarta: PT Intermasa.
Muhiet, Saleh (2001). Pendidikan Multikulturalisme di Sekolah Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Sularto, St (1990). Menuju Masyarakat Baru Indonesia: Antisipasi Terhadap Tantangan Abad XXI. Jakarta: PT Gramedia.
[1]Pada beberapa bagian tulisan ini, istilah pendidikan agama sering juga diganti dengan pendidikan Islam. Karena pendidikan agama yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pendidikan Islam.
[2]H.A. Timur Djaelani, MA. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. (Jakarta: Dermaga, 1980), h. 16. Catatan ini terungkap pada saat serombongan kapal laut berbendera Belanda, yang dipimpin oleh Cornelis de Houtmen mendarat di salah satu kepulauan Indonesia (Jawa) pada tahun 1596, di mana mereka melihat bahwa di pulau Jawa ini telah terdapat perguruan rakyat yang dipengaruhi oleh paham Hindu dan Islam.
[3]Howard M. Federspiel. Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihah. Diterjemahkan oleh Drs. Tajul Arifin, MA (Bandung: Mizan, 1996), h. 5.
[4]Martin van Brinessen. Pesantren dan Kitab Kuning: Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi Pesantren (Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III No. 4 Th. 1992), h. 76.
[5]Lihat, Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1982).
[6]Martin van Bruinessen. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 26-28.
[7]Ibid, h. 38-39.
[8]Mochtar Buchori. Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan. Dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Penyunting). Islam Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h.184.
[9]Beberapa penulis menggunakan istilah pendidikan sekuler sebagai padanan bagi pendidikan umum. Lihat, Mastuhu. Menuju Paradigma Baru Pendidikan Indonesia. Dalam M. Dawam Rahardjo (Editor). Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Sumber Daya Manusia Abad 21 (Jakarta: PT Intermasa, 1997), h.88-89.
[10] Bab II, Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[11]Undang-undangNomor20Tahun2003tentangSistemPendidikanNasional,Pasal37ayat(1).
[12] Ibid,Pasal15ayat(6)
[13] Ibid,Pasal15ayat(1)
[14]DalampenjelasanumumUUNo.20Tahun2003tentangSisdiknasdisebutkan:GerakanreformasidiIndonesiasecaraumummenuntutditerapkannyaprinsipdemokrasi,desentralisasi,keadilan,danmenjunjungtinggihakasasimanusiadalamkehidupanberbangsadanbernegara.Dalamhubungannyadenganpendidikan,prinsip-prinsiptersebutakanmemberikandampakyangmendasarpadakandungan,proses,danmanajemensistempendidikan.Selainitu,ilmupengetahuandanteknologiberkembangpesatdanmemunculkantuntutanbarudalamsegalaaspekkehidupan,termasukdalamsistempendidikan.Tuntutantersebutmenyangkutpembaharuansistempendidikan,diantaranyapembaharuankurikulum,yaitudiversifikasikurikulumuntukmelayanipesertadidikdanpotensidaerahyangberagam,diversifikasijenispendidikanyangdilakukansecaraprofesional,penyusunanstandarkompetensitamatanyangberlakusecaranasionaldandaerahmenyesuaikandengankondisisetempat;penyusunanstandarkualifikasipendidikyangsesuaidengantuntutanpelaksanaantugassecaraprofesional;penyusunanstandarpendanaanpendidikanuntuksetiapsatuanpendidikansesuaiprinsip-prinsippemerataandankeadilan;pelaksanaanmanajemenpendidikanberbasissekolahdanotonomiperguruantinggi;sertapenyelenggaraanpendidikandengansistemterbukadanmultimakna.Pembaharuansistempendidikanjugameliputipenghapusandiskriminasiantarapendidikanyangdikelolapemerintahdanpendidikanyangdikelolamasyarakat,sertapembedaanantarapendidikankeagamaandanpendidikanumum.
[15]Sekedar sebagai bandingan jatah anggaran antara dua kementerian, dalam data lama disebutkan bahwa dalamAnggaranPendapatandanBelanjaNegara(APBN)Tahun2007,BelanjaPemerintahPusatuntukKementerianPendidikanNasionalRIsebesarRp.21.585,1milyar,sedangkanKementerianAgamaRIhanyasebesarRp.6.690,5milyar;berbanding76,3%:23,7%.UntukAnggaranPendapatandanBelanjaNegara(APBN)Tahun2005,BelanjaPemerintahPusatuntukKementerianPendidikanNasionalRIsebesarRp.26.991,8milyar,sedangkanKementerianAgamaRIhanyasebesarRp.7.017,0milyar;berbanding79,4%:20,6%.DanuntukAnggaranPendapatandanBelanjaNegara(APBN)Tahun2006,BelanjaPemerintahPusatuntukKementerianPendidikanNasionalRIsebesarRp.36.755,9milyar,sedangkanKementerianAgamaRIhanyasebesarRp.9.720,9milyar;berbanding79,1%:21,9%.Lihat,KementerianKeuanganRepublikIndonesia, Data Pokok APBN Tahun Anggaran 2007,DepkeuRI,Jakarta,2007,hal.8.BilabesarananggarandanprosentasetersebutdihubungkandengancakupankerjakeduaKementeriantersebut,makacakupankerjaKementerianAgamajauhlebihluas,dantidakhanyamencakupbidangpendidikan,melainkanjugabidang-bidangagamayanglebihluas.
[16]Achmad Amiruddin. Sekolah Sebagai Transformator Wawasan Keunggulan Bangsa. Dalam M. Dawam Rahardjo (Editor). Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Sumber Daya Manusia Abad 21 (Jakarta: PT Intermasa, 1997), h.138.
[17] Lihat, Azyumardi Azra Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia: Menimbang Konsep Multikulturalisme. Jakarta: Ciputat Press, 2002; Mohammad Hasan, Multikulturalisme dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001; Saleh Muhiet, Pendidikan Multikulturalisme di Sekolah Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2001.