PENGEMBANGAN JAKARTA SEBAGAI PUSAT PERADABAN DUNIA

oleh :
Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S.

 

Pendahuluan

A.T. Kearney, sebuah perusahaan konsultan global, setiap tahun merilis Global Cities Index dan Global Cities Outlook. Pada tahun 2016, Ibu Kota Jakarta menempati peringkat ke-56 dari 125 kota dalam Global Cities Index 2016; dan urutan ke-110 juga dari 125 kota dalam peringkat Global Cities Outlook 2016. Global Cities Index (GCI) adalah penilaian kinerja kota berdasarkan lima dimensi utama, yaitu aktivitas bisnis, sumber daya manusia, sistem informasi, kebudayaan, dan keterlibatan politik. Sementara itu, Global Cities Outlook (GCO) merupakan penilaian terhadap prospek perkembangan potensi kota-kota di dunia berdasarkan tingkat perubahan sejumlah indikator dalam empat dimensi: kesejahteraan personal, ekonomi, inovasi, dan pemerintahan (www.atkearney.com).

Dalam konteks kota-kota di ASEAN, peringkat GCI 2016 untuk Jakarta (56) berada di bawah Singapore (8), Bangkok (41), Kuala Lumpur (49), dan sedikit di atas Manila (59). Fakta yang justru perlu dicermati adalah penilaian terhadap prospek perkembangan potensi kota Jakarta menurut GCO yang menduduki peringkat ke-110 jauh di bawah Singapore (17), Kuala Lumpur (54), Manila (74), dan Bangkok (89). Bahkan prospek perkembangan Jakarta di masa depan berada di bawah Kota Surabaya (109). Artinya, proyeksi perkembangan masa depan Jakarta dalam aspek kesejahteraan, ekonomi, inovasi, dan pemerintahan berada pada posisi terbawah di antara kota-kota besar di Asia Tenggara.

Oleh karena itu, untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat peradaban dunia, di satu sisi kota terbesar di Asia Tenggara ini dituntut masuk jajaran 10 besar dalam peringkat Global Cities Index termasuk prospek perkembangannya dalam Global Cities Outlook di masa yang akan datang. Di sisi lain, Jakarta harus dapat memecahkan problem-problem serius yang membelitnya.

Masalah yang dihadapi Jakarta sebagai kota dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa ini memang kompleks. Selain problem kepadatan penduduk yang menjadi salah satu penyebab tingginya angka kriminalitas, kota yang menempati urutan ke-14 sebagai kota dengan penduduk tertinggi di dunia ini juga dihadapkan pada masalah utama yang sangat serius, yaitu kemacetan lalu lintas, banjir, pembuangan sampah dan limbah, dan persoalan air bersih bagi penduduknya. Begitu seriusnya perkara lalu lintas di Jakarta ini, sampai-sampai Carl Ottersen dalam The Great Guide to Jakarta: The Easy Way to Discover Jakarta! (2014:9), menyebut masalah lalu lintas ini akan melekat kuat di benak seseorang yang berkunjung ke kota ini, sehingga hal pertama yang akan diceritakannya adalah kondisi kemacetan lalu lintas Jakarta.

Permasalahan yang dihadapi Jakarta dari hari ke hari bukannya berkurang, kecenderungannya justru menjadi bertambah rumit. Fakta bahwa jumlah kendaraan bermotor dari berbagai jenis terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun menunjukkan kepada kita betapa problem kemacetan lalu lintas ini akan semakin membelit Jakarta. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Jakarta (2016:518), kendaraan bermotor yang terdaftar (tidak termasuk kendaraan milik TNI, Polri, dan CD) pada bulan Desember 2015 secara keseluruhan berjumlah 18.668.056, mengalami kenaikan sebesar 1.144.089 (6,13%) dibandingkan tahun 2014 sebanyak 17.523.967. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun ini akan semakin memperparah kondisi lalu lintas Jakarta apabila tidak disertai dengan penambahan dan perluasan infrastruktur jalan raya.

Selama problem lalu lintas Jakarta belum terpecahkan, sulit bagi kota ini untuk menjadi pusat peradaban dunia karena kondisi lalu lintas yang lancar, tertib, teratur, dan nyaman adalah salah satu indikator kota beradab. Selain harus mengatasi problem kemacetan lalu lintas, untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat peradaban dunia, pemerintahan dan warga Jakarta juga harus menyelesaikan permasalahan-permasalahan lain, khususnya ancaman banjir, sampah dan limbah, dan ketersediaan air bersih bagi penduduknya.

Lebih gawat dari semua problem “fisik” tersebut, warga Jakarta juga dihadapkan pada permasalahan yang terkait dengan “kultur kewargaan” seperti ketidakdisiplinan, kekerasan, tawuran antarwarga, penegakan hukum, sikap acuh tak acuh, mentalitas menerabas, korupsi, dan sikap tidak bertanggung jawab.

Menjadi Pusat Peradaban Dunia: Utopia atau Realitas?

Untuk menjadi pusat peradaban, apalagi pusat peradaban dunia, sebuah kota dituntut memenuhi sejumlah prasyarat yang juga menjadi indikator keunggulan suatu peradaban. Secara konseptual, istilah peradaban sendiri sejatinya memiliki makna ambigu, tetapi terminologi itu kerap disandingkan dengan sejumlah konsep lain seperti kebudayaan, masyarakat beradab, masyarakat madani, masyarakat kewargaan. Namun demikian, secara akademik konsep-konsep itu juga dimaknai secara berbada. Max Weber (Kroeber & Kluckhohn, 1978:23), misalnya, menyatakan kebudayaan mencakup konfigurasi nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan cita-cita normatif yang unik secara historis, sifatnya personal, subjektif, dan non-aditif. Di sisi lain, peradaban adalah sekumpulan pengetahuan intelektual dan praktis maupun koleksi sarana teknis sebagai upaya manusia mengontrol alam. Karena sifatnya yang aditif dan kumulatif, maka peradaban lebih mudah ditransmisikan dan sifatnya impersonal-objektif. Kalau peradaban berfungsi sebagai “aparatus” kehidupan manusia, maka kebudayaan adalah “ekspresi” hidup itu sendiri.

Sementara itu, konsep masyarakat madani, masyarakat beradab, atau masyarakat kewargaan (civil society) pada umumnya dimaknai sebagai masyarakat di mana hubungan negara dan warganya dijalin atas dasar sebuah “kontrak sosial”, misalnya Piagam Madinah, yang menjamin penghargaan hak-hak sipil masyarakat oleh negara. Piagam Madinah sebagai dokumen “kontrak sosial” atau konstitusi tertulis pertama dalam sejarah peradaban manusia, misalnya, menurut K.H. Didin Hafidhuddin (2004:98) memuat dua nilai dasar yang menjadi dasar pendirian negara Madinah pada masa Rasulullah, yaitu: (i) prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-’adalah), dan (ii) inklusivitas dan keterbukaan. Kedua nilai dasar itu lalu dijabarkan dalam beberapa bentuk nilai universal seperti konsistensi (i’tidal), keseimbangan (tawazun), moderat (tawassuth), dan toleran (tasamuh).

Nilai-nilai universal Piagam Madinah itu selanjutnya dapat dijabarkan dan diejawantahkan sebagai penanda suatu masyarakat berperadaban. Oleh karenanya, masyarakat madani dalam konteks peradaban modern ditandai oleh sejumlah karakteristik berikut. Pertama, setiap warga negara dijamin kemerdekaan politiknya tanpa memperhatikan batas-batas primordialnya, seperti suku, ras, agama, dan ideologi. Setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Karakteristik masyarakat madani ini memungkinkan ruang publik terbuka untuk setiap warga negara dan membentengi domain-domain primordial tetap berada pada ranah privat sehingga ruang-ruang publik tetap terjaga dari kegaduhan, friksi, dan konflik primordial.

Kedua, masyarakat madani dicirikan oleh adanya aturan hukum dan aturan hukum itu efektif ditegakkan di tengah masyarakat yang majemuk. Aturan hukum diciptakan agar kehidupan masyarakat menjadi tertib dan aman. Hukum juga diciptakan untuk melindungi hak-hak setiap warga negara. Masyarakat madani selalu menghormati dan menjunjung tinggi aturan hukum, sehingga hukum secara efektif ditegakkan. Penegakan hukum tidak diintervensi oleh kekuatan politik dan kekuasaan. Penegakan hukum juga tidak dikalahkan oleh desakan dan intimidasi sekelompok orang atau suatu organisasi yang merasa memiliki kekuatan.

Ketiga, masyarakat madani dibangun berdasarkan sistem politik yang memungkinkan lahirnya para pemimpin bangsa yang dipilih secara demokratis, fair, dan kompetitif. Dalam suatu masyarakat madani, suara setiap warga negara dihargai dan ikut menentukan laju perkembangan bangsa dan negaranya.

Keempat, masyarakat madani senantiasa menjunjung tinggi rasionalitas dan kesatuan nasional tanpa memperhatikan ras, sistem keyakinan, dan ideologi. Masyarakat yang rasional mengajarkan kepada setiap anggotanya untuk memperlakukan orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar kekerabatan, loyalitas, dan hubungan subjektif lainnya. Masyarakat rasional adalah masyarakat berpengetahuan (knowledge society) yang mempunyai kemampuan akademik, berpikir kritis, berorientasi kepada pemecahan masalah, dan mempunyai kemampuan untuk belajar sepanjang hayat.

Kelima, masyarakat madani ditandai oleh kepemilikan mekanisme pengembangan keterampilan individu dan sosial, termasuk pengembangan kepercayaan diri, motivasi, komitmen terhadap nilai-nilai moral dan etika. Dalam masyarakat seperti ini, pendidikan dipandang sebagai elemen terpenting bagi masa depan masyarakat dan bangsa. Pendidikan diperlakukan sebagai lokomotif kemajuan bangsa, sedangkan ekonomi dan unsur-unsur sosial lainnya ditempatkan sebagai gerbongnya.

Keenam, masyarakat madani menjamin kebebasan berpendapat setiap warganya dan kebebasan pers menjadi kekuatan utama untuk mengontrol penguasa dalam menjalankan roda birokrasinya. Setiap warga negara memiliki hak untuk menyuarakan ide, opini, dan pendapatnya, tetapi setiap warga negara, termasuk insan dan lembaga pers, juga harus bertanggung jawab atas ucapan, tulisan, dan tindakannya. Keseimbangan antara hak dan tanggung jawab ini menjadi salah satu kekuatan masyarakat madani dalam mengelola keragaman suara, opini, dan kepentingan. Sebagai masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab, warga negara dalam konteks civil society, tidak akan membuat dan/atau menyebarkan berita palsu (hoax), fitnah, kebencian, dan rasa permusuhan.

Ketujuh, komunitas masyarakat madani memiliki komitmen kuat berkenaan dengan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi fondasi yang menopang relasi antarwarga. Melalui konstitusi yang disepakati bersama, negara sepenuhnya menjamin tegaknya hak asasi setiap warga tanpa memandang latar belakang primordialnya.

Kedelapan, melalui organisasi sosial yang kohesif dan kuat, masyarakat madani memiliki mekanisme pengelolaan konflik yang cerdas dan kreatif. Perbedaan, friksi, dan konflik dipandang sebagai sesuatu yang niscaya dalam suatu masyarakat majemuk. Akan tetapi, perbedaan itu dikelola sedemikian rupa sehingga pluralitas tidak menjadi ancaman, melainkan justru sebagai kekuatan sosial.

Kesembilan, masyarakat madani senantiasa memelihara nilai-nilai integritas, tanggung jawab, akuntabilitas, dan komitmen. Nilai-nilai yang merupakan karakter utama masyarakat beradab ini menjadi moral bersama warga dalam mengemban tanggung jawab sosial, politik, kepemimpinan, dan birokrasi pemerintahan.

Kesepuluh, masyarakat madani mampu mewujudkan negara yang menjamin hak setiap warganya untuk berbisnis dan melakukan kegiatan ekonomi dalam rangka mencapai kesejahteraan personal. Negara memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warganya untuk mencapai kesejahteraan ekonomi tanpa membedakan latar belakang budaya, sosial, politik, agama, suku, dan ras.

Kesebelas, masyarakat madani ditandai oleh kepemilikan pengetahuan, kompetensi, dan kecakapan untuk hidup berdampingan secara damai dengan “orang lain”. Kemajemukan dan masyarakat multikultur dipandang sebagai kekuatan dan keunggulan serta dikelalo secara cerdas, sehingga setiap warga negara dapat bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan.

Untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat peradaban dunia, sebelas karakteristik masyarakat madani itu masih perlu didukung oleh variabel-variabel lain. Untuk menjadi pusat peradaban dunia, sebuah kota harus memenuhi variabel-variabel peradaban adiluhung (high civilizations). Dalam sebuah buku bunga rampai berjudul The British Study Edition of the Urantia Papers Book yang diedit oleh Tigran Aivazian disebutkan “High civilizations are born of the sagacious correlation of material wealth, intellectual greatness, moral worth, social cleverness, and cosmic insight (2008:636). Bahwa peradaban adiluhung lahir dari suatu hubungan cerdas antara sejumlah variabel, yakni kekayaan atau kemajuan material, kebesaran intelektual, keunggulan moral, kecerdasan sosial, dan wawasan kosmis. Sementara itu, The International Showdown Humanity at the Crossroads (2016) mengidentifikasi beberapa karakteristik peradaban adiluhung, yaitu perdamaian, keamanan, keadilan, kebebasan, penghormatan terhadap martabat manusia, penghargaan tinggi terhadap kehidupan manusia, spiritualitas, dan standar hidup yang tinggi.

Dalam pandangan Francis Fukuyama (2005), agama memainkan peran yang sangat penting dalam kelahiran dan perkembangan suatu peradaban. Menurutnya, meski  wewenang hierarkis dari agama yang tertata tidak harus ada untuk menghasilkan aturan-aturan moral sehari-hari, namun secara historis perannya sangat menentukan dalam pembentukan peradaban. Peradaban-peradaban besar: Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, dan Konfusius—yang garis-garis batasnya masih menentukan peta perpolitikan dunia—berpijak di atas landasan agama.

Samuel P. Huntington (1997:47) juga menempatkan agama sebagai pusat peradaban. Dengan mengutip Christopher Dawson yang menyatakan ‘agama-agama besar merupakan fondasi peradaban-peradaban besar’, serta tesis Max Weber tentang lima agama dunia, Huntington menyimpulkan empat agama—Kristen, Islam, Hindu, dan Konfusius—terkait dengan peradaban-peradaban besar.

Karena agama menempati posisi strategis dalam proses lahir dan berkembangnya peradaban, maka keinginan untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat peradaban dunia tidak dapat mengabaikan peran agama. Visi Jakarta ke depan harus menempatkan agama sebagai salah satu unsur penggerak utama peradaban, selain elemen kebudayaan, teknologi, sistem transportasi, pemerintahan, bahasa, sastra dan komunikasi, serta ekonomi warganya.

Tentu saja agama sebagai salah satu elemen utama peradaban tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk menjadikan “peradaban identik dengan agama tertentu”, sebagaimana yang kerap disebut dalam “The Clash of Civilizations’ karya Huntington (1997:45) dengan istilah “Western Christian Civilization” atau “Arab Islamic Civilization”, di mana peradaban Barat identik dengan peradaban Kristiani atau peradaban Arab identik dengan peradaban Islam. Karena warga Jakarta terdiri dari beragam penganut agama dan Jakarta bukan milik satu komunitas agama tertentu, maka “peradaban Jakarta” harus mengambil jarak yang sama dengan semua agama, melindungi semua komunitas agama, dan menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya.

Agama sebagai salah satu elemen utama peradaban dapat diartikan sebagai “peradaban berbasis religiositas”, di mana agama dengan religiositasnya menjadi landasan sumber etika dan spiritualitas yang bersifat vertikal-transendental berperan memperkuat Pancasila sebagai dasar negara. Agama sebagai basis peradaban diharapkan dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial.

Agar agama-agama dapat berperan dalam mengembangkan etika sosial yang akan menopang peradaban adiluhung dan mengatur relasi antarwarganya, setiap agama harus menampilkan watak dasar ajarannya yang humanis, inklusif, pluralis, moderat, dan toleran; bukan wajah agama yang anti-pluralis, eksklusif, radikal, dan intoleran.

Ibu Kota Jakarta sebagai pusat peradaban mustahil dapat diwujudkan apabila relasi di antara warga dan hubungan antarkelompok didasari oleh kebencian, saling mencurigai, saling menyalahkan, permusuhan, dan masing-masing ingin menang sendiri. Namun demikian, lahirnya kerawanan dan patologi sosial semacam kebencian, permusuhan, kecurigaan, dan kecemburuan sosial pada hakikatnya tidak berasal dari ajaran suatu agama melainkan akibat dari akumulasi berbagai permasalahan ekonomi, sosial, dan perasaan diperlakukan tidak adil. Dalam konteks sosial yang rawan seperti itu, sentimen primordial akan sangat mudah menjadi pemantik konflik dan kekerasan.

Kesimpulan

Oleh karena itu, untuk menjadikan Ibu Kota Jakarta sebagai pusat peradaban dunia, selain harus menjadikan agama dan religiositasnya sebagai penopangnya, warga Jakarta juga harus mempraktikkan keberagamaan yang humanis, inklusif, pluralis, moderat, toleran, serta membangun masyarakat madani yang memiliki keunggulan di bidang kebudayaan, teknologi, sistem transportasi, pemerintahan, bahasa, sastra dan komunikasi, serta ekonomi warganya.

Apabila segenap komponen warga Jakarta dapat mewujudkan prasayarat-prasyarat kondisional itu, maka mimpi menjadikan Jakarta sebagai pusat peradaban dunia bukan lagi sebagai suatu utopia, melainkan cita-cita yang kemungkinan dapat diwujudkan.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Aivazian, Tigran (2008). The British Study Edition of the Urantia Papers Book. London: Urantia Foundation

ATKearney (2016). Global Cities 2016. https://www.atkearney.com/ documents/10192/8178456/Global+Cities+2016.pdf

Badan Pusat Statistik Provinsi Jakarta (2016). Jakarta dalam Angka 2016. Jakarta Badan Pusat Statistik Provinsi Jakarta

Dionne, E.J. (1998). Community Works: The Revival of Civil Society in America. Wahshington: The Brookings Institution

Fukuyama, Francis (2005). Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hafidhuddin, Didin (2004). Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani Press

Huntington, Samuel P. (1997). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Orde. New Delhi: Penguin Book

Kroeber, Alfred Louis & Clyde Kluckhohn (1978). Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. New York: Kraus Reprint Company

Ottersen, Carl (2014). The Great Guide to Jakarta: The Easy Way to Discover Jakarta!. Hongkong: No Trees Publishing Ltd

The International Showdown Humanity at the Crossroads (2016). War Information Center Pamphlets. Book 1373. http://utdr.utoledo.edu/ur-87-68/1373

 

 

 

Hebatnya Shalat 5 Waktu

Dari Abu Hurairah R.a. Berkata: Saya Telah Mendengar Rasulullah Saw Bersabda, Bagaimanakah Pendapatmu Seumpama Ada Sebuah Sungai Di Muka Pintu Salah Seorang Dari Kamu, Lalu Ia Mandi Daripadanya Setiap Hari Lima Kali, Apakah Masih Ada Tertinggal Kotorannya?" Para Sahabat Menjawab, "Tidak." Nabi Saw Bersabda, "Maka Demikianlah Shalat Lima Waktu, Allah Akan Menghapuskan Dosa-dosa Dengannya."

TOP