Lilis Nurteti
Dosen Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam Ciamis
Membaca merupakan gerbang kemajuan suatu bangsa. Peradaban yang dibangun oleh suatu bangsa diawali dengan kegiatan membaca. Dunia dan seisinya menjadi bermakna bagi kehidupan penghuninya karena diawali dengan membaca. Oleh karena itu membaca menjadi awal membuka jendela dunia. Kemajuan suatu negara ditandai dengan tradisi membaca warganya. Membaca menjadi kebutuhan pokok warga di negara maju. Tidak heran jika tradisi membaca di negara-negara maju sangat kental, tidak mengenal waktu dan tempat.
Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Perancis dan lainnya pemandangan membaca terlihat di mana-mana. Orang-orang membaca sambil menuggu dan berada di bus, kereta, pesawat, di taman-taman, di pinggiran pantai, dan lain-lainnya. Tiada hari terlewatkan untuk tidak membaca. Kesadaran membaca yang tinggi menjadikan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di Barat lebih berkembang pesat dibandingkan di Indonesia.
Indonesia belum dikategorikan negara yang masyarakatnya gemar membaca. Bahkan sangat ironis, Indonesia menempati urutan ketiga terbawah di kawasan ASEAN, atau berada di atas Kamboja dan Laos. Sejak tahun 2006 data Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%. Pencarian informasi lebih banyak dengan radio dan tv dibanding dengan membaca. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesi from Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).
Data lebih ironis lagi, berdasarkan indeks nasional, tingkat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,01. Sedangkan rata-data indeks tingkat membaca di negara-negara maju berkisar antara 0,45 hingga 0,62. Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius (tinggi). Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (republika.co.id/2/2/16).
Kondisi seperti ini tentu sangat memprihatinkan kondisi bangsa Indonesia. Jika krisis gemar membaca dibiarkan, maka bangsa Indonesia akan terbenam dalam kualitas sumber daya manusia dan menjadi bangsa tertinggal. Sebenarnya telah ada upaya dari pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan budaya baca. Melalui kementarian pendidikan dan perpustakaan nasional dari tahun ke tahun sampai saat ini, pemerintah menggalakan gemar membaca melalui peningkatan mutu perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum. Namun fakta-fakta minat membaca yang sangat rendah di atas menunjukkan program pemerintah dalam meningkatkan gemar membaca belum berhasil.
Perpustakaan umum di daerah jumlahnya masih cukup terbatas. Bahkan cenderung hanya menjadi pelengkap sebuah kabupaten atau kota. Perpustakaan umum selain jumlahnya sedikit juga cenderung letaknya tidak strategis jauh dari lokasi tempat tinggal masyarakat. Demikian juga perpustakaan sekolah yang masih kurang memadai baik dari segi fasilitas koleksi buku ataupun ruangan baca. Berbeda dengan di negara-negara maju perpustakaan merupakan bangunan yang paling besar, megah, dan nyaman dibanding dengan fasilitas pendidikan yang lain. Anak-anak sekolah menjadi betah dan ketagihan untuk membaca dan kembali ke perpustakaan.
Internet Tidak Produktif
Seiring dengan kemajuan tekhnologi dan informasi kegemaran minat membaca buku menghadapi sejumlah kendala, yaitu dunia hiburan, kesenangan, dan cengkraman konsumerisme yang disajikan dalam berbagai bentuk informasi melalu gadjet. Sejumlah media sosial dari yang paling sederhana, dari mulai SMS, Facebook, BBM, WA, Line, Path, Twiter, instagram, dan lain-lain yang makin hari makin banyak jenisnya. Dari media sosial itu berbagai produk-produk penawaran yang sifatnya kesenangan (entertainment) dan gaya hidup menguasai media sosial. Masyarkat secara tidak dihipnotis oleh penguatan-penguatan gaya hidup dan produk kesenangan sulit dihindarkan. Dampaknya masyarakat tak pandang umur melalui media tekhnonologi informasi sibuk dan tuduk pada budaya kesenangan dan glamor. Masyakat secara pelan dan pasti dijauhkan dari tradisi memabaca. Karena jauh dari tradisi membaca budaya kirtis menjadi hilang. Konsumerisme, hedonisme, dan kesenangan menjadi prioritas.
Riset Markplus Insight tahun 2014 Survey ini mengungkap bahwa tahun ini terdapat 74,6 pengguna internet di Indonesia, naik 22 persen dari tahun lalu yang jumlahnya 61,1 juta. Angka ini akan melampaui 100 juta di tahun 2015.75 persen pengguna internet menggunakan media sosial. 58,4 persen pengguna media sosial berusia 12-34 tahun. Hampir separuh masyarakat internet di Indonesia berusia di bawah 30 tahun, sementara 16,7 persennya berusia di atas 45 tahun. Kebanyakan masyarakat internet mengakses dunia online melalui smartphone (86 persen) dan menghabiskan Rp 50.000 dan Rp 100.000 tiap bulannya untuk mengakses internet. (kompas.com/2/2/16) untuk informasi yang paling sering dicari di internet, masyarakat internet Indonesia kebanyakan mencari berita (54,2 persen), hiburan (16,3 persen), film (10,2 persen), olahraga (8,7 persen), dan musik (8,5 persen). Sisanya antara lain berita politik (7,4 persen), sinetron (6 persen), berita seleb (5,5 persen), gosip (5,2 persen), dan konten pendidikan (5 persen).( id.techinasia.com, 2/2/16). Riset ini juga menujukkan bahwa penggunaan internet kurang produktif, khususnya media sosial, dipakai sebatas untuk aktivitas yang sifatnya menghibur, seperti chatting, mengunduh konten, main game, atau belanja online. Dari responden yang disurvei, 93% menyatakan diri menggunakan media sosial, 59% chatting, 41% download, 18% main games, dan 15% belanja online.
Kerja Bareng
Internet tidak produktif menjadi salah satu penyebab kuat rendahnya minat baca, karena internet tidak digunakan sebagai sesuatu yang produktif bagi ilmu. Oleh karena itu baik pemerintah, dunia pendidikan, masyarakat, dan keluarga harus bahu membahu membangun kultur membaca. Pemerintah harus memiliki kebijakan pro membaca dengan pengadaan perpustakaan dan buku sampai ke pelosok. Perpustakaan bukan hiasan. Perpustakaan harus menjadi pelayanan dunia ilmu. Dunia pendidikan harus merancang kurikulum yang berbasis membaca. Guru-guru atau pendidik merancang berbagai tugas yang mengharuskan siswanya membaca. Contoh apa yang telah dilakukan oleh tokoh Islam moderat KH.Irfan Hielmy memberi tugas pada santrinya di Darussalam Ciamis agar membaca minimal 50 halaman perhari. Di negara-negara maju seperti di Jerman, Prancis, dan Belanda, para siswa sekolah menengah atas (SMA) diwajibkan untuk menamatkan 22-23 judul buku sebelum mereka lulus sekolah. Di Indonesia budaya ini belum mentradisi. Di level keluarga kita harus melakukan gerakan matikan TV, offline, dan smartphone untuk memiliki jadwal membaca. Dengan semua bergerak masalah kemiskinan membaca dapat kita mulai atasi. Sesuai dengan perintah agama yang paling pertama, Iqra.Amin.