Oleh: Sumadi
(Menyelesaikan S1 IAI Darussalam, Mahasiswa Pascasarjana IAIN SGD Bandung)
Gaya bicaranya pelan tetapi tidak kehilangan ritme. Walau bukan seorang orator, setiap ceramahnya mengalir dengan gaya bahasa yang santun, tetapi bisa sangat keras apabila harus mengungkapkan sesuatu yang tak pantas. Ketegasannya dalam memberikan sesuatu yang benar kadang tak bertakbir, lugas dan menusuk inti persoalan.
Bapak Pengasuh, demikian ta’zim santri kepada K.H. Irfan Hielmy, sesepuh sekaligus penerus Kyai Ahmad Fadlil, ayahandanya, mengasuh santri dan membesarkan Pesantren Tjidewa – nama awal sebelum diubah dengan nama Darussalam pada tahun 1963. Sejak tahun 1950, tidak lama setelah ayahandanya meninggal pada usia 40 tahun, sulung dari delapan saudara ini, gigih berupaya menyiapkan perangkat keras dan perangkat lunak untuk menggembleng santri yang mulai berdatangan dari luar Kabupaten Ciamis, bahkan datang dari luar Pulau Jawa.
Upaya tak kenal henti telah mewujudkan pendidikan formal berbasis kepesantrenan dengan tersedianya jenjang pendidikan sejak tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Di Pesasntren Darussalam, setiap tahun datang dan pergi calon santri dan alumni, generasi silih berganti, dan negeri damai berjuluk ranah indah nyiur melambai ini senantiasa membuka diri, tidak saja kepada siapapun yang hendak menuntut ilmu, tetapi juga terhadap alur pemikiran dan kronik intelektual. K.H. Irfan Hielmy telah mencanangkan Pesantren Darussalam sebagai institusi yang memiliki karakter modern tanpa harus alergi dengan ciri pesantren tradisional.
Menghabiskan sedikitnya 100 halaman bacaan setioap hari. Kecintaannya terhadap bahan bacaan telah menghasilkan koleksi buku yang acap dijadikan banyak referensi oleh berbagai kalangan. Bahkan di kediamannya, di komplek Pesantren Darussalam, tersimpan ratusan judul kitab klasik dan mutakhir yang sulit ditemui di took buku terkemuka sekalipun. Serangkaian aktivitasnya tidak lepas dari kegemaran membaca, menganalisis, membandingkan, untuk kemudian menyimpan sebagai judul ijtihad, sehingga ulama kharismatik ini seringkali disebut sebagai ulama otodidak.
Penguasaannya terhadap ilmu nahwu, balaghah, mantiq, dan ilmu tafsir – suatu yang juga menjadi spesialisasi ayahandanya – telah melahirkan setidak-tidaknya tujuh buku yang menjadi teks wajib bagi seluruh santri dan beredar luas di negeri ini. Bunga Rampai Menuju Khairu Ummah (1994), Pendekatan Keagamaan dalam Menyelesaikan Krisis Kemasyarakatan (1997), Masyarakat Madani (1989), Ukhuwah Ahlus Sunnah yang kemudian diterbitkan oleh Departemen Agama RI dengan judul Pesan Moral dari Pesantren (1999), Wacana Islam, Bahan Telaah Anak Bangsa (2000), dan yang terakhir Dakwah bil Hikmah (2002). Kajiannya yang komprehensif dan kejernihannya dalam menganalisis permasalahan adalah keunggulan lain dari setiap ceeramah dan tulisan kyai yang kini berada di tengah ke enam putera-puterinya: Dra. Hj. Eulis Fadlillah Jauhar Nafisah yang sehari-hari mengepalai Madrasah Aliyah Keagamaan Darussalam, Drs. H. Fadlil Munawwar Manshur, M.S. dosen Universitas Gadjar Mada, Dra. Hj. Ani Hafni Zahra Fadlillah Laila memimpin RA Al-Fadlilyah Darussalam, Drs. H. Fadlil Yani Ainusyamsi, MBA, M.Ag. dosen di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Emma Ratna Kania Fadlillah Salma, S.Ag., dan Dase Fadlil Yusdi Mubarok, S.H.
Memasuki usia 69 tahun, banyak hal yang telah ditancapkan sebagai tonggak para santri dan murid-muridnya. Kesederhanaan dan kebersahajaan adalah etos dari keseharian yang dengan wajar mencair dan luruh di antara rimbun pohon nyiur di pesantren seluas 5 ha, tempat ia seringkali dikunjungi oleh tokoh-tokoh lokal maupun nasional.
Guru adalah profesi pertama yang diemban sekaligus profesi yang memungkinkan ia bisa terus-terusan menggali khazanah keilmuan melalui tulisan orang lain. Sebab, untuk mengajari santri dan jamaahnya, diperlukan kesiapan referensi dan kehalusan dalam meramu bahan pengajaran agar dapat dicerna tanpa harus meninggalkan tanda Tanya. Tetapi, sesekali, ia memberikan pekerjaan rumah yang kadang menimbulkan kepenasaran jamaah dan santrinya sendiri. Di situlah kearifan tengah mengendalikan situasi. Dan jadilah ceramahnya sebagai untaian bahasa yang indah dan dinanti oleh ratusan jamaah yang berdatangan setiap subuh.
Kyai moderat, demikian sebutan lain yang dilekatkan kepada pengagum karya-karya Al-Ghazali ini. Pembaruan senantiasa menjadi ciri dari dinamika pesantren Darussalam, karena memang minat pengasuhnya terhadap perbandingan mazhab. Itu pula yang mamacu santri untuk banyak bergulat dengan pemikiran para mujtahid.
Belakangan, karena kebiasaannya sewaktu muda dengan kerja keras dan kekerasan-hatinya untuk mewujudkan harga-diri dan kesejatian umat Islam, berbagai penyakit mulai menggerogoti. Itu pula yang menjadi alasan untuk absen di beberapa kesempatan kuliah subuh, suatu hal yang menyebabkan ribuan santrinya gundah mengharap tetesan kesejukan dari kalimat-kalimat bijak menyertainya. Apabila ia absen, biasanya kuliah subuh diisi secara bergantian oleh anak-anaknya sendiri dan – berbeda dengan pimpinan pesantren lain – ia tidak mempersiapkan siapapun dari anak-anaknya untuk menjadi penerusnya kelak. Ia biarkan terjadi regenerasi secara alamiah. Sebab, pesan kepada putera-puterinya pun tunggal, ‘jadilah Darussalam sebagai pesantren dari kita, oleh kita, dan untuk ummat.’ Untuk ummat, layak diberi garis bawah dan dicetak tebal.
Darussalam memang telah menjadi institusi dengan ribuan alumni dan mereka telah menjadi agen perubahan untuk memperjuangkan kebenaran tanpa memaksakan pembenaran. K.H. Irfan Hielmy telah membuat blue print sosok manusia sebagai muslim moderat, mukmin democrat, dan muhsin diplomat. Karakter demikianlah yang mau tak mau bakal menjadi agen perubahan dan akan mewarnai perjalanan bangsa.
Darussalam, memang berada di pinggiran, nun jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Tapi pesan moral dari K.H. Irfan Hielmy, terus menerus tanpa mengenal batas, menembus beton, melandai di ngarai, dan menyelusup ke banyak hati, ke nurani mereka yang ingin beroleh rahmah dan hidayah. (Dimuat di Media Pembinaan Kemenag RI, No.02/XXIX Mei 2002)