Oleh Sumadi
Penekun Masalah Kenegaraan dan Keagamaan, Dosen UIN Bandung
Perjalanan Pilpres 2014 sedang menapaki tensi tingkat tinggi selain konsekuensi hanya dua pasang calon capres, juga karena saat ini memasuki minggu akhir tahapan kampanye Pilpres. Berbeda dengan Pilpres sebelumnya yang diikuti oleh lebih dari dua pasang calon sehingga energi berkonflik lebih menyebar tidak terkonsentrasi langsung pada dua kubu. Faktor inilah yang mengakibatkan perjalanan minggu akhir kampanye menuju 9 Juli 2014 semakin terasa panas. Tim sukses dua kubu capres menggunakan segala daya upaya untuk memenangkan calonnya masing-masing yang terkadang keluar dari nalar akal sehat. Perang isu dari hari ke hari bukan menemui titik akhir, tetapi justru makin variatif dan masif. Dari mulai isu agama, HAM, antek asing, korupsi, dan lain-lain. Dua kubu mulai mengeluarkan senjata pamungkas dengan mengeluarkan isu korupsi masing-masing capres. Publik dibuat bingung sulit membedakan mana fakta yang benar dan fakta bohong, mana yang fitnah dan mana yang asli. Selembaran-selembaran yang menujukkan anti pada masing-masing capres yang isinya tidak bertangung jawab beredar luas di masyarakat.
Jika adu isu yang cenderung fitnah dan adu domba, maka perjalanan Pilpres kita sudah keluar dari jalur Fair Play politik menurut prinsip permainan Piala Dunia yang sedang berlangsung. Fair Play politik mengandung pengertian bagaimana sebuah permainan harus berlangsung dengan cantik, enak ditonton, adil dan menarik. Tidak ada pihak yang dirugikan. Panas saat bersaing tetapi semua menerima dengan puas terhadap hasil akhir setelah permainan selesai. Tetapi jika permainan tidak fair play, akan menjadi permainan yang brutal. Mencekam bagi yang menonton. Dan tidak jarang emosi penonton menjadi terpancing untuk ikut terjun brutal menyatu dalam permainan para pemain di lapangan. Itulah mengapa penting mengakhiri Pilpres 2014 dengan fair play politik, yaitu sebuah politik yang beradab, damai, dan berkualitas.
Semangat Piala Dunia 2014 dan Puasa Ramadhan yang menekankan menjunjung akhlaq yang mulia dalam interaksi sosial menjadi penting untuk semua pihak yang terlibat dalam Pilpres untuk kembali meluruskan perilaku dengan menerapkan prinsip fair play politik. Langkah-langkah yang harus dijalankan di akhir tahapan Pilpres 9 Juli 2014 di antaranya: pertama, semua pihak menahan diri untuk saling lempar isu yang berbau SARA (suku, agama, ras). Isu ini telah menyebar masif melalui media elektronik, media masa, jejaring sosial, dan bahkan dari mulut ke mulut. Kata-kata “thoghut” orang tidak bertuhan atau bahkan kafir jika memilih kandidat tertentu atau tidak akan masuk surga bagi pemilih kandidat yang bukan pilihannya begitu mudah terucap. Sudah saatnya isu-isu yang tidak fair ini akan saling menyudutkan kedua belah pihak capres diakhiri. Jika tidak dihentikan menjelang akhir putaran Pilpres, bukan tidak mungkin isu agama akan menjadi sumber konflik.
Kedua, di minggu akhir kampanye para Timses masing-masing capres di tingakatan elit tidak boleh mengatakan kata-kata yang cenderung provokatif. Para purnawirawan jendral yang berada di kubu masing-masing ketika berpolemik tentang calonnya dengan menggunakan kata “perang” atau laksana perang badar akan meningkatkan gejolak emosi yang masif antar pendukung yang akan berakhir konflik. Sebab nalar elit akan berbeda dengan nalar masyarakat pada umumnya. Terminologi yang provokatif dari para elit timses yang terpelajar akan berkonsekuensi pada perilaku brutal di tengah-tengah masyarakat. Seringkali tawuran dalam berbagai pertandingan sepakbola diawali oleh perilaku para ofisial, pelatih, dan pemain di lapangan yang berujung pada tawuran masal antar suporter.
Ketiga, perlu kepastian hukum.Hukum dalam suasana politik memang cenderung lemah. Khusus bagi penyelenggara Pemilu KPU dan Bawaslu harus punya nyali untuk menegakkan segala aturan Pilpres. Jika tidak ada ketegasan dari penyelenggara Pemilu dalam mengakkan aturan Pilpres, bukan tidak mungkin Pilpres 2014 akan berujung konflik. Ketegasan menegakan aturan akan menjadi awal nasib Pilpres yang aman dan berkualitas.
Keempat, perlu pers yang bertanggung jawab dan netral berdiri di semua golongan. Media masa baik cetak dan elektronik yang tidak seimbang akan akan memberi saham besar terjadinya konflik Pilpres. Media yang tidak netral selain akan menjadi sumber masalah dan penebar informasi provokatif, juga akan merugikan diri mereka sendiri. Media yang tidak netral akan kehilangan kredibilitasnya di mata publik. Setelah pelaksanaan Pilpres publik akan menilai media manakah yang pantas berita dan analisisnya dapat dipercaya dan tidak. Sesuai dengan fungsinya pers harus menjadi pilar demokrasi yang menjujung nilai-nilai fair play politik.
Dalam Spirit puasa Ramadhan untuk menjadikan hidup saling menghormati, beradab dan menjunjung nilai-nilai keadilan dan Piala Dunia 2014 dengan fair play politik menjadi episentrum kedamaian, kebahagiaan, dan persaingan sehat dalam mengakhiri Pilpres 2014. Harus seperti piala dunia 2014 yang memasuki babak 4 besar, semi final, dan menuju final, persaingan makin panas, permainan makin seru, dan adu strategi pelatih yang menarik untuk ditunggu, dan semua kalangan makin menikmati indahnya permainan. Kita harus bisa mewujudkan indah dan damainya pesta demokrasi. Semoga Pilpres 2014 juga demikian!