PEMIMPIN BEJO ATAU SAKIT JIWA?

Oleh: Sumadi
Penekun masalah Keagamaan dan Kenegaraan, Dosen IAID Darussalam Ciamis

Bejo menjadi kata yang mulai populer. Walaupun bejo kata yang berasal dari bahasa Jawa, kata ini juga populer digunakan oleh beragam etnis di tanah air.  Apalagi salah satu produk jamu atau obat masuk angin begitu genjar menggunakan kata bejo sebagai lawan dari produk lain yang menggunakan semboyan pintar. Persaingan iklan  orang bejo dan orang pintar memang sedang menjadi perdebatan di kalangan masyarakat dalam memilih pemimpin di saat sedang menuju Pilkada dan Pemilu 2014. Apakah orang yang pantas jadi pemimpin itu orang yang pintar atau orang yang bejo?

Salah satu kritikan yang tajam dalam kehidupan masyarakat adalah pintar itu tidak menjamin kesejahteraan dan bagusnya kinerja pemimpin. Kelompok yang beranggapan seperti ini biasanya menyampaikan data-data bahwa para pemimpin dan pengelola negara yang korup adalah orang-orang yang memiliki gelar, pengalaman, dan jabatan tinggi. Artinya tidak ada pengaruh apa-apa jabatan, gelar dan kepintaran terhadap kejujuran dan amanah dalam memimpin. Oleh karena itu muncul pemikiran “kok pinter tapi korupsi”, mending pemimpin yang bejo yang nasibnya baik sehingga mensejahterakan rakyatnya.

Namun bagi saya yang namanya pemimpin apakah di pemerintahan atau lembaga pendidikan menjadi koruptor bukanlah orang pinter, justru namanya orang egois, hedonis, serakah, dan pantas disebut dengan orang yang bodoh apapun gelar dan jabatannya. Yang benar sebetulnya kita membutuhkan pemimpin yang pintar dan bejo (mampu berkinerja baik dan mensejahterakan), dengan ciri pemimpin yang berani anti korupsi, amanah, dan pemberani.
Pemimpin Sakit Jiwa
Patut kita mengatakan saat ini Indonesia sedang mengalami krisis atau darurat kepemimpinan. Bayangkan hampir setiap hari hiasan utama media kita tidak pernah luput dari berita dari kasus korupsi dan korupsi lagi yang dilakukan oleh para pemimpin atau pejabat public negeri kita. Data yang sangat miris dirilis oleh Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri menjelaskan bahwa selama kurun waktu periode 2004 sampai dengan tahun 2012 menunjukan sebanyak 173 kepala daerah berurusan dengan menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Dari sejumlah itu sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana. Belum lagi rekening gendut di oknum petinggi partai, oknum kepolisian, di dinas pajak, dan para anggota legislatif.

Apa masalahnya jika kepemimpinan telah mengalami krisis yang begitu akut? Apakah masalah sistem yang koruptif, integritas orang-orang yang memimpin, atau sudah tidak ada orang yang beragama? Jika merujuk pada pandangan psikologi maka para pemimpin yang tidak amanah dan melakukan korupsi namanya orang sakit jiwa. Para teoritikus kejiwaan memberikan pandangan tentang ciri-ciri orang yang sakit jiwa di antaranya: (a) bertindak tanpa berpikir; (b) menturutkan hasrat/hawa nafsu; (c) kehilangan kesadaran akan realita; (c) punya pilihan yang tidak terbatas dan tidak bertanggung jawab; (d) kesulitan beradaptasi dengan jenis pekerjaan yang digelutinya walaupun sudah bertahun-tahun.

Merujuk pada teori yang dikemukakan oleh para ahli psikologi maka dapat disimpulkan para pemimpin publik apapun jabatannya jika tidak amanah dan melakukan tindakan korupsi namanya “pemimpin sakit jiwa”.  Konsekuensinya mereka tidak cocok untuk menjadi pemimpin, harus segera diberhentikan, dan masuk tempat rehabilitasi.

Pemimpin Bejo
Menjelang perekrutan nasional para pejabat publik melalui mekanisme Pilkada dan Pemilu 2014 tentu ekspektasi tertinggi masyarakat ingin mendapatkan pemimpin yang bejo bukan pemimpin yang sakit jiwa. Yaitu pemimpin yang amanah, bertindak dengan kesadaran yang penuh, peka terhadap realita masyarakat, dan berkinerja baik. Saat ini sulit mendapatkan teladan pemimpin yang bejo bagi masyarakat Indonesia dari semua tingkatan.  Untuk menjadi pemimpin yang bejo beberapa teladan dalam khazanah peradaban Islam dapat menjadi perenungan bersama, di antaranya:

Pertama, Pesan Nabi SAW pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka (HR. Abu Na’im). Pesan Nabi Muhammad SAW yang mengingatkan, menjadi pemimpin adalah pelayan rakyat. Sementara ini ada yang terlupakan bahwa menjadi pejabat publik seakan menjadi manusia lebih di antara masyarakat yang segalanya ingin dilayani. Sehingga yang terjadi adalah dominasi dan eksploitasi rakyat. Pada situasi seperti ini Nicolo Machiavelli (1469-1527) pernah mengkritik ketika manusia memperoleh kekuasaan, yaitu manusia dengan kekuasaannya cenderung serakah, agresif, dan ingin menguasai (wanted to monopolize).

Kedua, nasihat dari khalifah Umar Bin Abdul Azis tentang sikap menjadi pemimpin. Ia mengatakan “Agama dan bangsa dapat dipelihara dengan baik, kata Umar Bin Abdul Azis, Jika terdapat keadilan dan kebajikan. ”Jangan coba mengurangi apa yang menjadi hak rakyat atau yang dipimpin. Jangan paksa rakyat melakukan sesuatu di luar kemampuan mereka. Sebagai pejabat jangan terima hadiah”. Indah sekali pesan Abdul Azis seorang khalifah yang teruji memberikan tahta pada masyarakatnya dengan menjadikan kebajikan dan keadilan sebagai dasar kepemimpinan yang ia jalankan. Pesan agar tidak KKN, sehingga bagi Khalifah Abdul Aziz menjadi pejabat menjadikan penurunan yang drastis pendapatannya dari 50.000 Dinar pertahun menjadi 200 Dinar setahun. Tidak seperti kebanyakan yang terjadi negeri kita malah sebaliknya. Beberapa saat menjadi pejabat publik langsung kaya raya.
Ketiga, nasehat Umar ra. Ia mengatakan ”bagaimana orang baik merasa aman dan yang jahat merasa takut. Jika pemimpin menyimpang, kata Saidina Umar, rakyatpun akan menyimpang. Dan orang yang paling celaka adalah orang yang mencelakakan orang. Ini adalah sindiran dari Umar bahwa apa yang dilakukan oleh pejabat publik akan memiliki dampak yang luas terhadap budaya masyarakat. Baik performa akhlaq pemimpin, baik juga masyarakatnya, sebaliknya buruk maka akan berdampak buruk terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Dalam situasi yang serba sulit mencari teladan dan figur pemimpin, kita masih berharap para pemimpin yang sekarang duduk di kekuasaan mulai menyadari apa fungsi kepemimpinan bagi masyarakat dan melayani masyarakat. Kita pun harus membangun kritisisme di tengah masyarakat supaya jangan memilih pemimpin yang sakit jiwa yang akan berdampak pada kesengsaraan bersama. Amien!

Sifat Iri Yang Diperbolehkan

Dari Ibnu Umar R.a. Berkata: Rasulullah Saw Bersabda, "Tidak Boleh Seseorang Iri Terhadap Orang Lain Kecuali Dalam Dua Hal Yaitu Seseorang Yang Diberi Pengertian Al Qur'an Lalu Ia Mempergunakannya Sebagai Pedoman Amalnya Siang-malam Dan Seseorang Yang Diberi Oleh Allah Kekayaan Harta Lalu Ia Membelanjakannya Siang-malam Untuk Segala Amal Kebaikan."

TOP